Teruntuk dia
yang tlah hadir dalam hidupku, dia yang memberikanku kehidupan dan padanya yang
telah mewariskanku wataknya. Apa kabar, pak ? Apa kau sudah baikan ? ini
merupakan kali ketiga aku menuliskan surat
buatmu, namun kau tak kunjung membalasnya. Bahkan membacanya pun sudah
enggan!!!
Apa kau masih
marah padaku ? hanya karena mendapatiku merokok disudut rumah kini kau tak
sekalipun memalingkan wajahmu padaku.
Pak, aku masih
ingat sewaktu aku kecil dulu. Kau sering memarahiku, membatasi ruang gerakku dan
bahkan kau sering memarahiku mana kala ini itu tak sesuai dengan jalan
pikiranmu. Pak, aku memang mewarisi watakmu yang keras, tak sekalipun aku
menuruti nasihatmu. Aku membangkang dengan segala alasan yang aku miliki.
Masih teringat
jelas ketika kau melarangku untuk bermain hujan, manakala anak-anak seusia
menikmati bahagianya bermain hujan, aku hanya mampu berdiri kaku didepan pagar
rumah yang kau buat kokoh itu. Aku tahu kau mencemaskan kesehatanku kelak, tapi
aku ingin bermain, pak!! Berkumpul dan tertawa dengan rekan sebayaku. Semua
mainan plastik yang kau berikan padaku, itu tak berarti. Semua itu bak semua
gunung yang menumpuk dikamarku. Aku bukan kucing peliharaan yang akan selalu
bersama tuannya dan termenung dikandang menikmati “kebahagiaan” yang diberikan
tuannya.
Aku anakmu,
pak!! Anak yang berusia minim. Aku tak ingin menghabiskan masa kecilku
dihadapan layer TV. Lihat ketika aku bermain hujan, disana aku tertawa,
terjatuh bersama teman-temanku. Meskipun pakaianku kerap kotor karena percikan
lumpur dilapangan sepak bola, tapi aku bahagia pak bisa berbagi dengan mereka.
Aroma hujan itu!! Kau pasti juga pernah merasakannya.
Pak, ingatkah
kau ketika aku terbaring lemah dihadapanmu ? kau menangis pak!! Ia menangis !!
kau cengeng!! Jangan salahkan aku ketika menyirammu dengan air minumanku, aku
benci tangisan pak!!
Layangan, aku
sangat menikmatiknya disiang hari dan manakala hujan, bermain sepakbola adalah
kegemaranku. Masih ingatkah kau dengan hadiah sepeda yang kau berikan padaku ?
aku menggunakannya pak.
Jangan pernah
salahkan aku pak, karena aku juga tak pernah menyalahkanmu sekalipun. Kau
sering meninggalkanku seharian dirumah tapi aku tak pernah mengeluh, aku sepi
pak!! Ku tahu kau sedang mencarikan nafkah buatku, aku tak pernah mengeluh!!
Disaat usiaku
kian bertambah dan kesehatanmu kian menurun , tak sekalipun kau memarahiku. Kau
sudah enggan!!
Pak, aku masih
anakmu. Umur ini hanya merupakan hukuman yang alam berikan karena hidup
didalamnya. Apakah cintamu kian luntur dengan bertambahnya usisaku ?
Pak, aku rindu
dengan segala bentuk kemarahanmu. Maafkan aku yang sedari dini sering membuatmu
marah yang membuatmu semakin menunjukkan kejantananmu dihadapanku.
Pak, masih
banyak tentang kau yang hidup dibenakku. Mencuri uangmu disaat kau sedang
tertidur, menyembunyikan sendalmu agar kau tak keluar meninggalkanku sendirian,
atau bahkan kebersamaan kita disaat iseng memasang judi togel yang membuat ibu
memarahaimu habis-habisan.
Pak, bekas luka
dikakiku akibat pukulan lidimu semakin mengingatkanku bahwa kau sangat
mencintaiku. Pak, sekarang aku tlah dewasa. Aku ingin melanjutkan cita-citamu
yang sempat kau bisikkan disaat aku terbaring lemah dulu. Meskipun kini aku tak
tahu keberadaanmu, tapi aku tahu kau sedang mengintip membaca tulisan ini
dibelakangku disaat aku sedang menulis surat
ini. Pak, aku masih ingat kau pernah berjanji akan menemaniku kelak jika aku
sudah dewasa untuk minum kopi diwarung pojok dekat rumah. Tapi, kedewasaanku
justru membuatmu pergi meninggalkanku.
Sebulan sebelum kelahiranku. Aku
Benci Tangisan, Pak !!!
#np
The Script-If You Could See Me Now