Ketika kebijakan bersumber dari kepentingan pribadi, akan dibawah kemana kami ?
Hari ini suasana jalan dikota tempatku bermukim sama seperti
biasanya, padat, pengap dan rentetan suara klakson kendaraan bermotor silih
berganti. Pagi itu suasana cukup bersahabat, matahari lagi semangat-semangatnya
memancarkan sinarnya untuk mengalahkan semangat manusia yang hendak
beraktivitas. Perlahan ku langkahkan kakiku menuju pagar rumah, ada segenap
aktivitas pagi yg ingin ku realisasikan.
Hari itu aku telah berjanji akan mengunjungi temanku,
rumahnya disekitaran salemba. Berbekal janji itu lah aku mantap melangkah…
Seperti biasanya, hal-hal yang berarti kadang terjadi
diwaktu yg tak terjamahkan oleh pikiran…
Busway, kendaraan umum inilah yg cukup akrab bagi orang
sepertiku dan khalayak. Menuju arah senen merupakan tujuan pertamaku. Berdesak-desakan
menunggu kedatangan busway merupakan suatu hal yg lumrah, selain itu kondisi
jalan yang padat bak sepasang daun dan pohonnya, yang akan terasa aneh jika tak
beriringan. Matahari pun mantap menyinarinya. Namun dengan hadirnya pendingin
ruangan di kendaraan tersebut membuatku sejenak mengabaikannya.
Setiba dihalte senen, aku pikiranku sempat berkecamuk. Apakah
aku melanjutkan perjalanan kerumah temanku dengan menyambung busway lagi
dihalte sebelah, ataukah melanjutkannya dengan kendaraan umum yang lainnya,
sebut saja bajaj atau mikrolet. Akhirnya langkah ku pun mantap memilih
mikrolet. Pilihan tersebut bukan tanpa alasan, alasan pertama dan utama yakni
aku teringat perkataan teman ku, namanya gilang namun kadang disebut ramos “raul
lemos”, “terkadang dengan menggunakan kendaraan umum kita dapat menemukan
jawaban atas permasalahan atau beban pikiran kita”. Menurutku hal ini cukup
masuk akal, ketimbang menggunakan pribadi namun pikiran kita fokus pada
jalanan, akan jauh lebih baik jika pikiran kita dipergunakan untuk yang
lainnya. Alasan kedua, tentunya lebih efektif. Ketimbang harus mengantri lagi
dan menunggu kedatangan busway.
Dengan bantuan lampu merah, aku pun mantap menyeberangi
jalan. Sekedar informasi saja kendaraan disini begitu liar, hanya lampu merah,
macet dan kecelakaan saja yang bisa menghentikannya. Hari itu aku menggunakan
mikrolet dengan nomor ??? (lupa kodenya), ketika aku naik tampak sudah ada
beberapa orang didalam mikrolet tersebut. Dua diantaranya merupakan wanita yang
umurnya sudah mulai uzur. Ku putuskan untuk duduk dibangku paling belakang,
pertimbangannya karena aku ingin dekat jendela dan duduk disamping ibu-ibu
tentunya bisa jauh lebih aman dari penodongan.
Pada saat-saat dimikrolet inilah kemudian aku mendapatkan
sebuah pengalaman, kisah yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Waktu itu
(yang masih teringat), telepon seluler dari salah satu wanita yang saya maksud
diatas bordering, wanita tersebut mengangkatnya dan kemudian berbicara tidak
begitu lama lalu memberikannya ke wanita yang satunya. Dari dialegnya, aku
yakin dia bukan penduduk asli disini (jawa), dalam hematku dia pasti tidak
jauh-jauh dari aku (kampung halamanku, Sulawesi). Ia berbicara begitu cempreng
dan menggunakan bahasa daerahnya. Yang aku dapatkan dari pembicaraan ia sedang
marah, marah akan kondisi, nasib dan tuannya.
Berdasarkan percakapan yang kudengar, semua berasal dari
seorang anak. Mungkin anaknya, keponakannya ataupun keluarganya. Nama anak itu
silfa,sifa atau ifa (saya tidak mengingat pastinya). Saya memastikan kalau anak
itu sekarang masih duduk dibangku sekolah menengah (SMA), kesimpulan ini
kudapat karena dalam percakapan tersebut anak itu hendak melanjutkan sekolahnya
keperguruan tinggi.
Dalam percakapan tersebut, sang anak mengutarakan
keinginan, harapan atau cita-citanya kesalah satu keluarganya yang kemudian
keluarganya tersebut meneruskannya ke wanita yang ditelepon tadi. Ia (anak itu)
mengatakan bahwasanya ia berkeinginan untuk melanjutkan sekolahnya dibidang
kedokteran (cita-cita pasaran untuk anak Indonesia), namun hal ini kemudian
ditanggapi negatif oleh wanita tersebut.
“kalau bermimpi jangan tinggi-tinggi dan sadar diri. Kita ini
bukan siapa-siapa, bahkan sampai kau menjual seluruh harta benda orang tuamu
belum tentu kau bisa masuk jurusan kedokteran”, ujar sang wanita
“kalau begitu dokter gigi saja, kata anak tersebut” yang
kemudian disampaikan oleh sang penelpon (saya tidak mengetahui jenis kelamin si
penelpon)
“dokter gigi sama saja, sama-sama ada dokter didepannya”
celetuk sang wanita itu
“yah kalo begitu jurusan apa saja, yang penting berhubungan
dengan kesehatan ” sambung si penelpon menyampaikan keluhan anak tersebut
“ yah sudah masukkan saja dia disekolah kesehatan, tidak usah
dimasukkan keuniversitas. Dapat uang dari mana. Sekarang pintar mahal, bisa
sekolah sampai SMA saja itu sudah syukur” jawab si wanita
“ie ie” jawab si penelpon
Kemudian telepon pun berakhir (percakapan menggunakan bahasa
bugis dan telepon ibu tersebut kayaknya diloudspeaker karena terdengar nyaring
ditelingaku).
Pasca mendengar percakapan telepon tersebut aku sempat
berpikir dan tanpa sadar gank rumah temanku sudah lewat. Aku pun turun dari
mikrolet dan menyebrang jalan sambil berfikir keras apa yag baru saja ku
dengar.
Pintar untuk si kaya, bodoh untuk si miskin. Apakah kondisi
kemiskinan merupakan faktor utama penghalang orang untuk mencapai harapannya ?
atau hanya anak tersebut saja yang malas dan menjadikan kemiskinan sebagai
kambing hitam ? aku kacau dalam beberapa saat. Semua buku yang pernah ku baca
dan pengalaman yg pernah ku dapat, ku bongkar satu persatu dalam pikiranku. Aku
hendak mencari jawabannya.
Kapitalisasi pendidikan, arogansi pendidikan, pendidikan
pilih kasih, kebobrokan system dan manusianya, omong kosong para orator politik
dan lain sebagainya berkecamuk dipikiranku. Aku kacau, sebagai orang yang berpendidikan
aku tak tahu harus menjawab apa. Aku tak punya kuasa dan materi untuk
menjawabnya. Sebagai orang berpendidikan harusnya aku bisa menjawab percakapan
tadi tak mungkin mencari-cari dan melempar kesalahan.
Aku kacau !
Pesanku bagi teman-teman yang membaca ini, tolong sampaikan
ini kepihak yg mempunyai wewenang untuk menjawabnya atau pihak yang bisa
menyelesaikannya. Entah itu birokrasi yang berpakaian rapi, dosen yang lebih
senang mengerjakan proyek ketimbang mengajar, rektor yang senang keluar kota
maupun negeri serta katanya menghadiri pertemuan studi banding, atau konglomerat
bermuka baik berhati jahat. Oh ia satu lagi, mahasiswa yg berpaham “kecualisme”,
mahasiswa yg jika sesuatu hal yg bersebrangan dengan pikiran dan nafsunya maka
itu adalah sebuah kesalahan dan harus dilawan tapi jika sesuatu hal tersebut
memiliki kepentingan dan pengaruh bagi dirinya meskipun hal tersebut SALAH SAMA
SEKALI maka itu adalah sebuah PENGECUALIAN titik
Mungkin tepat juga semoboyan dinegeri ini, "pemuda adalah harapan bangsa". pemuda yang orang tuanya memiliki pengaruh dan harta yang berlimpah.
"Semoga hari dimana orang-orang saling mengerti akan tiba"
Maret 2012
Aku kacau !
0 komentar:
Posting Komentar