Siang
menanjak terik dan kita
masih berdiri di bawah pohon mahoni di tepi jalan. “Aku bosan”, katamu tadi pagi. Kemudian aku menyuruhmu berdandan, kenakan
sepatu keds dan jeans belel. Kita jalan !!, tapi
kita tak punya uang, Sayang. Untuk bulan ini sudah habis sebelum gajian,
tersisa hanya untuk makan. “Ah, tak apa”, jawabku singkat.
Hingga hari ini aku masih saja rela melakukan apa saja
untukmu, meskipun kita sudah tak bersama lagi.
“Aku
ingin menua bersamamu, memakai jeans belel yang robek, kaos oblong dan tetap
mencintaimu sampai mati”, katamu.
Aku
hanya tertawa waktu itu, menyembunyikan jantung yang hampir pindah ke lambung sembari
ku hembuskan asap yang sedari tadi menggumpal di mulutku.
Mereka
bilang kita hanya elegi cinta monyet. Kau bilang mana ada monyet secantik aku.
Kau pintar membuatku tertawa berderai-derai. Pun ketika aku marah sebab kau
lelah dan mengacuhkanku, kau mulai mengelitiki telapak kaki, memelukku
kencang-kencang dan diakhiri dengan menciumku sambil tersenyum. Kemudian kita
akan berbisik-bisik dalam gelap di dalam seprai berbungak dalam satu tempat, yang berbeda. Kita
mendiskusikan tentang hebatnya kita jika dapat menaklukkan gunung Rinjani. Aku
memotong, “Dapat memandangi Rinjani dari kejauhan, itu seperti lelaki yang
hanya bisa memandangi gadis pujaannya tanpa bisa berbuat apa-apa”.[1]
“Haha, cool”,
tawamu.
“Memangnya
seperti apa cool itu?”, mukaku meraut
masam.
“Sepertimu”,
yang sedang cemberut.
******
Daerah
senen semakin ramai dengan hilir mudik kendaraan. Baru saja sebuah vellfire hitam mengklakson yang memekakkan
telinga. Di belakang supirnya yang gendut, duduk seorang wanita setengah baya
dengan kaca mata hitam menempel di mukanya.
Di
depanku berbondong-bondong penyeberang melintasi zebracross entah berjalan menuju kemana. Tiba-tiba mataku tertuju
pada seorang wanita dengan baju kurungnya yang berwarna coklat, terlihat menggandeng
anak kecil. Perutnya membuncitnya yang membuatnya berjalan lebih lambat. Di
sampingnya seorang laki-laki dengan songkok hitam yang lusuh bersungut-sungut.
Kupandangi mereka dengan seksama.
Tiba-tiba
kau menepuk pundakku, “aku tak mau sibuk sendirian dengan anak kita kelak, kau
harus mau membaginya dengan ikut menggendongnya nanti”.
“Tentu saja”, jawabku
Sambil
menoleh ke kiri. Kau mempererat genggaman tanganku.
Aku
mencintaimu dengan megah. Aku tak dapat berjanji, tapi tentu akan kulakukan.
******
*Beberapa
hari sebelumnya
Nanti
jika aku punya uang, akan ku ajak kau berjalan-jalan dengan naik kopaja dan ke
toko buku bekas. Ongkos kopaja hanya tiga ribu, diambil dari atm bersaldo
terakhir. Kau akan duduk di lantai toko sambil menekuri halaman demi halaman
yang menguning dan berdebu. Sedangkan aku duduk merokok di luar, aku tak pernah
suka membaca. “Aku hanya akan membaca draft tulisanmu”. Kemudian kau akan
melotot melihat rokok putih terselip di jariku. Kau tak suka melihatku merokok,
“nanti kau cepat mati!”, katamu. “Urusan mati hanya Tuhan yang menulisnya di buku
takdir, Sayang. Bukan karena merokok”.
Tapi
kau kidal, dan orang kidal juga cepat mati. Aku memilih diam waktu itu.
Kau
tahu, aku meluruhkan egoku hampir separuh lebih. Setengah dari takdirmu adalah
takdirku. Maka aku berhenti mendebatkan banyak hal dan menerima bahwa cinta
sudah memilih jalannya sendiri. Begitu pula kau yang memilih menikahi isi
pikiranku yang hanya berisi engkau dan kehidupan di masa depan. Kurasa kita
impas, bukan?. “Kurasa cinta tidak menghitung”, kataku.
******
Kau
menginginkan buku itu, tapi harganya mahal. Aku merebutnya dari tanganmu,
melihat bagian belakangnya dan membolak-balik beberapa halamannya.
“Kau
mau es kelapa di depan itu, bisa pesankan sebentar untuk kita?”, kataku.
Kau
beranjak dan melihat aku berjalan ke arah kasir dan membuka dompet.
“Ini
untukmu”, seringai lebarku tiba-tiba muncul dan duduk di sampingmu. Kau
terkejut senang, kau habiskan isi gelasmu dengan cepat, mengelap telapak tanganmu
yang basah oleh embun di gelas dan mengelus cover nya yang masih bagus meski
tampak tua.
Kita
pulang sambil menyusuri trotoar berdebu sambil bergandengan tangan, menunggu
kopaja di tepi jalan sambil menahan panas.
******
*setelahnya
Minggu
depan aku ke sana lagi. Ke toko buku itu, tapi tanpa genggaman tanganmu lagi.
Aku
melanjutkan “kehidupanku”, dan kau pergi kembali pada takdirmu.
06 Juni 2014
Saat Terakhir, ST12
Pertemuan itu indah, namun
perpisahan
Jauh lebih bermakna