Minggu ini merupakan penghujung
perkuliahan semester ganjil. Seperti biasanya, aku melangkah dengan malas
menuju kampus. “Perjalanan” ku kali ini sama sekali tak aku mengerti, melangkah
jauh mempelajari bahasa yang tak sekalipun pernah terlintas dipikiranku, Bahasa
Rusia. Bukan perkara mudah memangnya. Meskipun bertahun-tahun bermukim di
Beruang Merah, tapi tak ada satu pun legitimasi yang dapat dijadikan benteng
dalam penguasaan bahasa tersebut.
Pagi
itu jarum jam di pergelangan tangan kananku menunjukkan pukul 09.30, kurang.
Ini menandakan pelajaran hari ini akan segera dimulai. Diawali dengan
pembahasan pelajaran minggu lalu yang tak sekedar berbasa-basi, mengecek tugas
yang diberikan. Bak biduan kecil berdasi merah, tangan lemah ku mengambilnya
didalam tas.
------------------------------::-------------------------------
Sebelumnya...
Berawal dari
percakapan, di salah satu situs media sosial, Facebook, bersama seorang
wanita -mungkin lebih tepatnya seorang
“gadis”, yang kegadisannya semerbak bunga bangkai. Jari lentik ku dengan lincah
menari diantara tuts-tuts keyboard.
Entah
bagaimana awalnya, percakapan saat itu diselingi dengan cerita kegiatan
sehari-hari. “Aku sedang menonton film” tuturnya. Bak pejantan yang tak ingin
kehilangan momen menatap betina, aku pun mencoba mengulur-ulur pembicaraan
hingga pada jenis film yang ia sukai. Dan Tentu saja seperti betina pada
umumnya, ia menggandrungi palsunya kisah romantisme “film Korea”.
Waktu
pun kian memanjang. Aku mencoba memberikan referensi film yag menurutku cukup
bagus, “Bunga Kering Perpisahan”, saranku. Sebuah film yag mengisahkan tentang
percintaan postmodernisme yang tak lagi mengenal batas kepercayaan. Jika Tuhan
mu saja dapat kau khianati, bagaimana aku yang hanya seorang kaum. Percakapan
malam itu pun berakhir dengan janji olehnya, “aku akan segera menonton film
itu”
Sembari
menanti komentarnya akan film tersebut, aku mencoba memutar kembali film yang
#lagilagi menurutku menarik. After Shock,
sebuah film dari Asia Timur, China. Film kisah nyata yang menceritakan
tentang peristiwa gempa bumi di daratan China pada dekade tahun 1970-an. Film
ini menurutku patut ditonton, selain alurnya yang bagus, juga terdapat ada
beberapa hal yang hikmahnya dapat kita “curi”. Behind the Tragedy
Film
ini berawal dari kisah sebuah keluarga dengan Seorang ayah, Ibu dan
masing-masing satu anak laki-laki dan perempuan. Pada saat gempa terjadi, kedua
orang tua anak tersebut sedang lembur bekerja disalah satu proyek pembangunan
gedung. Dan tentunya kedua anak tersebut dengan pulas tertidur dirumah.
Gempa
meruntuhkan bangunan flat tempat mereka bermukim, singkatnya Ayah mereka
meninggal tertimpa runtuhan bangunan, seperti buah simalakama yang membunuh
tuan pendiri bangunan. Ibunya dihadapkan pada pilihan menyelematkan salah satu
anak mereka, Laki atau perempuan. Pada akhirnya Ibu sang anak lebih memilih
sang pria dan anak wanita yang awalnya
telah diduga meninggal kemudian diselamatkan oleh seorang perwira, yang pada
saat itu menjadi sukarelawan bencana, yang belum memiliki anak.
------------------------------::-------------------------------
Pada
28 Juli 1976 sebuah peristiwa gempa bumi
terjadi di Tangshan, China, yang memakan korban jiwa hingga 240.000
orang[1],
namun banyak ahli memperkirakan kurang lebih 700.000. Sehari sebelumnya
peristiwa, disebuah desa di luar Tangshan, dilaporkan air sumur naik turun
hingga tiga kali. Di desa lain, sumur-sumur menyemburkan gas pada 12 juli dan
mencapai puncak pada 25 dan 26 Juli. Selain itu hewan-hewan disekitar
Baiguantuan menolak untuk makan dan terus berkicau #kukuruyuk.[2]
Siang
sebelum peristiwa gempa terjadi, langit terlihat seperti mengeluarkan cahaya
berwarna putih dan merah. Daun-daun di pohon terbakar dan sayuran hangus hanya
di satu bagian, seperti terkena bola api, dan dalam sekejap kota diratakan. 93%
dari bangunan perumahan dan 78 % bangunan industri hancur total. 80 % dari
stasiun pompa air rusak berat dan pipa air rusak di seluruh kota. 14 % dari
pipa limbah rusak berat.[3] Pada
periode ini kita juga tidak dapat melepas pisahkan kondisi perpolitikan yang
terjadi di China. Kekuasaan partai politik komunis China pun ikut terguncang.
Mao Zedong menderita serangan jantung dan komplikasi lain akibat dari usia tua
dan konsumsi rokok yang berlebihan. Dan akhirnya meninggal pada tahun yang sama
pada 9 September. Dilain sisi, Zhou Enlai menentang Revolusi Kebudayaan yang
digombarkan dan mendorong “Empat Modernisasi” China; pertanian China, industri,
ilmu pengetahuan, dan pertahanan nasional.
Gempa
bumi besar Tangshan tahun 1976 adalah bencana alam terburuk dari abad kedua
puluh, dalam hal hilangnya nyawa dan sejarah perpolitikan China. Namun, gempa tersebut
terbukti berperan penting dalam mengakhiri Revolusi Kebudayaan yang merupakan salah
satu bencana buatan manusia terburuk sepanjang masa. Atas nama perjuangan
Komunis, Revolusioner Budaya menghancurkan budaya tradisional, seni, agama dan
pengetahuan. Mereka menganiaya intelektual, mencegah pendidikan bagi seluruh
generasi, dan dengan kejam menyiksa dan membunuh ribuan anggota etnis minoritas.
Sepuluh tahun sebelumnya, 1960-an, Amerika Serikat menyerbu Vietnam atas dasar
untuk mencegah penyebaran komunisme memasuki wilayah Asia Tenggara, Thailand,
Singapura, Malaysia dan Indonesia. Pada periode ini juga ditandai pergantian
rezim kekuasaan Orde lama – orde baru.
Dalam
artikel Business Week, 19 Oktober 2005, menuliskan bahwa Jhon V Neumann pasca
perang dunia II mulai bekerja melakukan proyek modifikasi cuaca yang bertujuan
untuk mengalahkan negara komunisme dengan menyebabkan kekeringan di Uni Soviet,
taktik Cloud-Seeding. Dilaporkan
bahwa militer AS menghabiskan $ 2.800.000 /tahun untuk membiayai penelitian
modifikasi cuaca.
Perang
Vietnam merupakan awal kali penggunaan proyek modifikasi cuaca, yang kemudian
disebut Weather Weapon. Dikenal
dengan Proyek Popeye, dengan memperpanjang musim hujan untuk menghambat
pergerakan musuh serta menghabiskan persediaan makanan mereka di jalur hutan
berlumpur dan pada tahun 1976 PBB mengeluarkan relosusi yang melarang
penggunaan senjata cuaca untuk kebutuhan perang.[4]
Permainan
politik terkini, gempa bumi dahsyat menewaskan sekitar 700.000 orang, mungkin
hanyalah sebuah peringatan dari Amerika Serikat untuk China, bahwa AS
mengendalikan teknologi yang dapat memusnahkan negara China. China paham
Amerika Serikat dapat menghancurkan negaranya tanpa perlu menginjakkan kaki di
negaranya. China menyadari bahwa mereka tidak memiliki senjata untuk membalas
serangan Senjata Cuaca ini. Tindakan seperti ini (akan) menghasilkan "Real-Politick”.
Ide
dasar peperangan lingkungan ini sangat sederhana - jika suatu negara dapat
mempelajari bagaimana cara memicu terjadinya bencana alam yang dapat
mengakibatkan kerusakan parah terhadap musuh melalui hujan, banjir, gelombang
pasang, gempa bumi, dan bahkan perubahan iklim yang dapat menghancurkan
pertanian negara musuh".[5]
------------------------------::-------------------------------
Melangkah
Jauh kedepan, kedua anak korban gempa bumi tersebut telah tumbuh menjadi
dewasa. Mereka kembali dipertemukan pada peristiwa gempa bumi yang terjadi di
Sichuan,China, pada tahun 2008 dengan
menjadi sukarelawan.
Kebutuhan
manusia akan Science, untuk bertahan
hidup,
Akan
membunuh Tuhan dari dalam dirinya #Nietsche
[1] Tangshan: The Deadliest
Earthquake
[2] Chen Yong, et al, The Great Tangshan Earthquake of 1976: An
Anatomy of Disaster (New York: Pergamon Press, 1988) 53.
[3] Tangshan: The Deadliest Earthquake (Page 2)
[4] The United Nations Disarmament Yearbook, Volume I. 1976
[5] Baca WEATHER CONTROL AND
WEATHER WARFARE
0 komentar:
Posting Komentar