Papua merupakan
provinsi terbesar di Indonesia yang terletak di bagian tengah atau bagian
paling timur Irian Jaya (West New
Guinea), dimana bagian timurnya merupakan wilayah teritori negara Papua
Nugini (East New Guinea). Provinsi Papua dulu mencakup seluruh
wilayah Papua bagian barat, sehingga sering disebut sebagai Papua Barat terutama oleh Organisasi Papua
Merdeka (OPM),
gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan membentuk
negara sendiri. Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini dikenal sebagai Nugini Belanda (Nederlands
Nieuw-Guinea atau Dutch New Guinea). Setelah berada bergabung
dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia Indonesia, wilayah ini dikenal
sebagai Provinsi Irian Barat
sejak tahun 1969 hingga 1973. Namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi hingga 2002, dan
kemudian mengalami pemekaran sehingga kembali menjadi propinsi Papua
Barat-Manokwari dan propinsi Papua-Jayapura.
Pada Februari 1623,
pelaut Belanda Jan Cartensz yang berlayar di sebelah selatan Pulau Papua
melaporkan dalam jurnalnya: suatu pagi yang cerah mereka menyaksikan suatu
gunung tinggi yang puncaknya berwarna putih. Ketika itu, banyak orang di Eropa
menyangsikan laporannya dan menganggapnya sebagai pembual ketika ia mengatakan
bahwa di suatu wilayah khatulistiwa terdapat gunung salju abadi. Beberapa
peneliti yang tertarik dengan laporan “bualan”-nya itu kemudian melakukan
serangkaian ekspedisi ke Pegunungan Nemangkawi.
Pada 25 April 1960,
Nederlands Nieuw Guinea Petrolium Maatschappy (NNGPM) melakukan pendakian dalam
skala besar kepegungan bersalju Nemangkawi, dipimpin A.J. Wintrachen dari
Belanda dan seorang geolog Amerika, D. Flind. Ekspedisi kali ini juga merupakan
kelanjutan dari dari ekspedisi sebelumnya yang telah dilakukan Dr. A.H. Colijn
di tahun 1936 sampai 1937 bersama geolog Dr. J.J Dozy yang menemukan kandungan
bijih-bijih mineral di salah satu puncak Nemangkawi, Yelsegel Ongopsel, yang
kemudian mereka sebut sebagai Gunung Bijih, Eastberg.
Dalam rombongan
ekspedisi itu terdapat sembilan belas orang pegawai pemerintah kolonial
Belanda, polisi, porter, dan penerjemah. Salah seorang dari mereka adalah Moses
Kilangin Tenbak, seorang guru SD Kampung Amkayagama, Lembah Tsinga hilir. Moses
Kilangin adalah seorang putra suku bangsa Amungme. Pemilik hak ulayat (ulayat =
tanah adat, ed.) atas tanah Amungsa, Pegunungan Nemangkawi, Cantensz.
Amungsa merupakan
wilayah yang ditempati suku bangsa Amungme yang meliputi puncak-puncak
Pegunungan Nemangkawi yang tinggi (Cartensz), lembah-lembah yang subur, seperti
Tsinga, Noemba dan Waa, serta sungai-sungai yang membelah pegunungan dari barat
ke timur dan dari utara ke selatan. Salah satu puncak Nemangkawi adalah Yelsegel
Ongopsel (Eastberg), yang dalam bahasa Amungme berarti “gunung yang berkilauan
laksana bulu burung Cenderawasih hitam”.
Menurut Arnold
Mamperior dalam bukunya Amungme Manusia Utama Dari Nemangkawi Pegunungan
Cartensz, Gunung Yelsegel Ogopsegel adalah wilayah keramat—tempat asal mula
leluhur suku Amungme—dan sebagai tempat beristirahatnya burung Yelki dan
Ongopki yang dipuja keret-ndartem (klan) Narkime dan Magal. Gunung yang
puncaknya 130 meter dari permukaan tanah dan kedalamannya dua kali lipat ke
dalam perut bumi ini, sudah lenyap dikeruk oleh Freeport dan kini yang tersisa
adalah ceruk, sumur raksasa, yang airnya berasal dari curah hujan.
Perusahaan tambang
Freeport milik Amerika yang berporasi sejak tahun 1973 menandatangi kontrak
karya dengan rezim Orde Baru Soeharto untuk menambang bijih-bijih tembaga di
wilayah Nemangkawi, gunung Yelsegel Ogopsegel, Eastberg. Tahun 1991 kontrak
karya ini diperbaharui, berlaku hingga 30 tahun (sampai 2041), dengan klaim
bahwa geolog Freeport baru menemukan emas di Gunung Tenogama/Enagasin,
Grassberg tahun 1988 dengan kandungan emas terbesar di dunia dan tembaga
menempati urutan nomer ketiga.
Menurut Memperior,
Amungme berarti Manusia Pertama, Manusia Sejati, atau Manusia Sesungguhnya.
(Amung berarti Pertama, Utama, Sejati, Sesungguhnya; dan Me berarti Manusia,
Orang). Suku Manusia Utama ini memberi nama Nemangkawi kepada pegunungan yang
bersalju ini sejak jaman leluhur mereka. Sebagai suku pegunungan, suku Amungme
memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan alam dalam istilah mereka Te Aro
Newek Lak-o, yang berarti: Alam adalah Aku. Sungai, lembah, dan pegunungan
adalah tubuh ibu atau mama suku Amungme.
Para peneliti Eropa
menamainya Pegunungan Nemangkawi dengan sebutan Cartensz. Soekarno memberi nama
Puncak Soekarno ketika terbang di atas Pegunungan Nemangkawi pada 5 Mei 1963
dalam perjalanan menuju Biak ke Merauke dan sebelumnya Soekarno sudah mengganti
nama Hollandia (Kota Baru) menjadi Soekarnopura. Pada zaman rezim Orde Baru,
Soeharto mengganti namanya menjadi Puncak Jaya dan Soekarnopura menjadi
Jayapura.
Selang beberapa bulan
setelah Kudeta Militer tahun 1965, Freeport Mc Moran mulai menjajaki
kemungkinan investasi untuk mengeksploitasi Pegunungan Nemangkawi, Cartensz.
Pada 3 Maret 1973, Soeharto meresmikan beroperasinya penambangan Freeport tanpa
meminta persetujuan dari masyakakat adat Amungme, pemilik sah tanah ulat di
Pegunungan Nemangkawi. Dengan kepemilikan saham terbesar jatuh kepada: Freeport
Mc Moran sebesar 67,3 persen, PT Indocopper Investama 9,3 persen, join venture
dengan Rio Tinto Group 13 persen, dan pemerintah Indonesia 9,3 persen. Dalam
laporan yang dirilis di mining-technology.com, pada 2006 Freeport memproduksi
610. 800 ton tembaga, 58.474,392 gram emas, dan 174.458.971 gram perak.
Salah seorang komisaris
pemegang saham di perusahaan tambang raksasa ini adalah Henry Kissinger,
Sekretaris Negara Amerika Serikat ke-56 dari tahun 1973 sampai 1977 dan pernah
menjabat sebagai Pembantu Penasehat Keamanan Nasional untuk presiden dari tahun
1969 sampai 1975. Henry Kissinger adalah seorang diplomat ulung yang
disebut-sebut beberapa pakar terlibat dalam penggulingan pemerintahan Soekarno
dan secara aktif turut serta dalam membasmi gerakan komunis di Asia.
Badan Pusat Statistik
Kabupaten Mimika mencatat jumlah penduduk terus bertambah setiap tahunnya. Pada
2007 tercatat 171.000 orang lebih. Jumlah suku-suku asli adalah 30.000. Dari
jumlah tersebut suku Amungme dan Kamoro adalah yang terbesar dari 5 suku
lainnya. Dari keseluruhan jumlah suku-suku asli di wilayah Mimika, diperkirakan
hanya 10.000 yang lulus dari pandidikan Sekolah Dasar. Artinya, lebih dari
separuh lebih suku-suku asli ini adalah buta huruf. Sementara itu, hingga 2008,
jumlah pekerja di pertambangan Freeport lebih dari 19.000 ribu jiwa.
Selain persoalan
pendatang yang menyebabkan suku-suku asli ini semakin terdesak kepinggiran dan
menimbulkan kecemburuan sosial, pesoalan lainnya adalah penularan HIV dan AIDS.
Provinsi Papua menempati urutan teratas dalam penularan HIV dan AIDS di
Indonesia dan Kabupaten Mimika adalah yang tingkat penularannya paling tinggi
di seluruh wilayah Papua.
Berdasarkan survey HIV
dan AIDS tahun 2006 yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan dan WHO,
prevelensi HIV di Papua sebesar 2,4 persen. Ini berarti penderita HIV di Mimika
lebih dari 3.000 orang dan 50 persen menyebar di masyarakat 7 suku (Amungme 23
persen, Mee/Ekari 17 persen, dan Dani 17 pesen). Pada priode Agustus 2008, KPAD
(Komisi Penanggulangan Aids Daerah) Mimika menemukan kasus HIV dan AIDS di
Mimika meningkat tajam, mencapai 1.300 kasus dan telah merenggut nyawa 86
orang. Yang terdiri dari kasus HIV sebanyak 1.283 dan AIDS sebanyak 199 yang
menyebar melalui hubungan seksual sebanyak 1.284 kasus, dari ibu ke anak 29
kasus, homoseksual 1 kasus, tranfusi darah 1 kasus, dan tidak diketahu
identitasnya 7 kasus.
Pengelolaan dana
“bantuan sosial” dan 1 persen pendapatan kotor Freeport yang merupakan konsesi
atas tanah ulayat Amungme dan Kamoro juga menimbulkan berbagai masalah di tahun
1990-an. Tidak ada bentuk nyata bahwa suku pedalaman ini telah merasakan hasil
dari dana-dana tersebut dengan peningkatan kualitas hidup mereka. Di Banti,
misalnya, sebagai salah satu pusat pemukiman suku Amungme, dengan kekayaan alam
gunung emas yang terbesar di dunia, banyak anak-anak yang pendidikannya
terlantar. Penduduknya tinggal dalam honey-honey (rumah tradisional) yang tidak
hiegenis, berbentuk bulat di dalamnya pengap tanpa cahaya matahari yang cukup:
tempat bersarangnya berbagai macam jenis penyakit, seperti TBC dan penyakit menular
lainnya.
Penyaluran dana ini pun
awalnya cukup aneh. Dana itu dibagi-bagikan melalui tetua-tetua adat kepada
masyarakat melalui lembaga-lembaga yang mengklaim sebagai lembaga adat. Menurut
pengakuan penduduk setempat, per tiga bulan ada yang mendapat sampai 20 juta
setiap keluarga. Dalam masyarakat yang pola hidupnya masih meramu dan berburu,
sisa-sisa dari kebudayaan zaman batu, mau diapakan dana dalam jumlah yang
sangat besar itu? Umumnya, setelah mendapatkan dana tersebut, mereka membeli
berbagai kebutuhan pokok, melakukan pesta, dan tak jarang para laki-laki turun
ke Timika untuk mengunjungi tempat-tempat prostitusi dan mabuk-mabukan.
Pergeseran-pergeseran
nilai-nilai adat yang kini mengalami kemerosotan dalam masyarakat adat Amungme
tidak lepas dari masuknya berbagai pengaruh asing. Ketika gereja dan negara
datang menggantikan lembaga dan hukum-hukum adat, secara perlahan berbagai
kearifan yang diwariskan leluhur Amungme mulai ditinggalkan. Sementara itu,
nilai-nilai negatif terus dipertahankan, misalnya dijabarkannya konflik suku
menjadi konflik modern yang melibatkan berbagai kepentingan elit-elit pusat dan
lokal: orang-orang yang paling diuntungkan dengan hadirnya Freeport di Bumi
Amungsa!
Ketika kita berbicara
mengenai kepentingan modal, bagi suku Amungme, negara hadir dalam bentuk yang
sangat represif, menindas dan mengintimidasi. Misalnya, ketika masyarakat adat
mempertanyakan hak-hak mereka atas tanah, air dan gunung-gunung yang dulu
merupakan asal-usul leluhur bangsa Amungme, mereka malah dicap separatis,
pendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM).
0 komentar:
Posting Komentar