life is a big joke

Jangan biarkan ide muw usang dimakan waktu, tuangkanlah dalam goresan tinta keabadian.....

surat untuk bapak

Jumat, 29 Oktober 2010

Kebimbangan ini bagai lingkaran yang mengurung diriku begitu rupa, bagaimana aku bisa menjelaskan ini semua kepadamu , Pak? Mataku Cuma bisa basah, rupanya hanya dengan cara ini aku bisa merasakan kerinduanku. Pada jarak kita yang sangat jauh, juga dalam rentang waktu yang panjang, masih juga kurindui engkau. Banyak sesalku yang takkan bisa tersampaikan padamu, disaat kau tak ada, aku baru merasai sepinya kesendirian ini.

Mungkin aku adalah anakmu yang selalu membuat hatimu kesal ?(jemariku terhenti menggerakkan pena). Air tidak hanya menetes di mataku tapi juga menyumbat deras pernafasanku, pedih ini lebih dari yang kuduga. Lalu gambaran ketika kau ada berseliweran saling tubruk di kepalaku. Aku ingin menguraikannya satu persatu agar kenangan kita dahulu dapat menjawab rindu ini yang sangat begitu sepi. Aku ingin pedih ini merobek-robek setiap keangkuhan yang aku punyai, lalu aku cuma selembar jiwa yang telungkup di pangkuanmu (suatu kemustahilan, kau telah jauh. Pun ketika kau dekat, aku tak pernah begitu).

Bapak, aku merasa kau ada di dekatku sekarang, tidak dengan sapu lidi dalam genggamanmu yang bisa membuat betisku merah, tapi kau letakkan tanganmu yang lemah di pangkuanku, juga menemaniku menulis surat ini, menuntun hatiku untuk bisa menjadi hangat bersamamu. Tahukah engkau,Bapak, aku ingin berada di pelukmu sebentar saja, tapi tidak dengan baju kebesaranmu dangan tanda jasa dan hiasan bintang di pundakmu. Semua itu membuatku selalu takut, juga untuk menatap matamu, apalagi berlindung di dadamu karena yang kutangkap hanya debur jantung yang selalu siap meledakkan amarah. Namun sepanjang kita bersama, aku tidak pernah mengimpikan orang lain untuk menjadi bapakku. Kau tetap bapakku, yang telah memberikan rasa tentram sekaligus rasa takut.
Selama kita bersama aku belum pernah begitu berupaya untuk membuat hatimu bahagia, juara kelasku pada tiap jenjang pendidikan bukan untuk kupersembahkan kepadmu, pun begitu dengan prestasiku yang lain bukan untuk membuatmu bangga. Ah Bapak, jika itu untukmu maka kau akan merasa benar bahwa kekerasanmu membuahkan hasil. Semua yang kuraih untuk diriku sendiri, aku begitu keras hati sebab itupun aku tidak arus merasa sedih saat tak satupun pujian kau lontarkan untukku.

Banyak hal yang tidak pernah kuungkapkan kepadamu. Kau bisa luar biasa marah ketika aku tak mendengar nasehatmu. Tak layak tentu aku menjadi anakmu. Lalu aku akan membiarkan dirikuku berlimpahan kenistaan sekalian.

Betapa jahatnya aku.Rahasia nista ini aku simpan darimu hanya karena aku takut berhadapan dengan kemarahanmu, bukan karena aku telah melukai hatimu. Ah bapak, terima sungkem dari anakmu ini. Aku menikam berulang-ulang hatiku sendiri sampai kini, bukan kau yang melakukannya, tapi diriku sendiri, meski cuma kekuatan menusukkan belati yang aku miliki yang tertinggal di sisa tenagaku.


Masih jelas tergambar ketika itu, kau tetap saja menunjukkan dirimu sebagai bapak yang perkasa dan tegar, meski kau tergolek di atas ranjang yang dikelilingin dengan alat pencuci darah. Suara mesin itu, Pak, memekakakkan telinga dan jantungku bersamaan, membuatku menangis tanpa suara dan air mata. Aku cuma berdiri di sisimu dan tidak juga kau raih jemariku yang menanti penuh harap untuk kau genggam. Betapa ingin kudengar kau katakan sakitmu padaku dengan demikian aku merasa berarti aku menjadi anakmu. Berbagilah, meski tak kurasakan sayatan di perutmu, untuk merelakan darah itu mengalir hilir mudik keluar masuk.

Di sepanjang tahun sakitmu, kau tetap saja Bapakku dengan wajah dan watak yang keras, melunaklah sedikit seperti organ tubuhmu yang telah aus. Luka di hatiku karena cinta yang kuyakini membuatku mekin terengah meraih – raih hangat dekapan kelembutan cinta seorang Bapak. Aku sepenuhnya yakin, bahwa hanya kau yang mampu mengobatiku. Bapak, berapa kali aku tidak dapat menahan marahku kepadamu. Dan kau hanya terduduk lesu tanpa ekspresi sambil membiarkan ujung-ujung jarimu yang berdarah. Kau siksa aku terus menerus dengan sakitmu, kau biarkan tanganmu yang telah lumpuh sebelah itu berusaha menggunting kukumu di jemari yang lain karena telah panjang sebagian. Sementara kau biarkan aku tertawa lepas menikmati tontonan menarik di layar televisi di seberang kamarmu. Kenapa tidak juga kau memintaku untuk melakukannya? Mintalah bantuanku, Pak. Tidakkah kau anggap aku ada di sebelahmu?
Juga ketika kau roboh di balik pintu ruang tempat satu-satunya dimana kau habiskan ketidakberdayaanmu, bahkan memanggil namaku pun tidak, kau bersusah payah memapah tubuhmu untuk berdiri, sekali lagi kudapati kau tanpa ekspresi terduduk di lantai bersimpuh dengan kain sarungmu. Ya Tuhan, mengapa kau begitu sombong? Memakai sarungpun kau sudah tidak bisa, mintalah aku melakukannya untukmu. Aku hanya bisa berteriak-teriak, meyakinkanmu bahwa aku selalu ada di sisimu, membantumu dengan ketulusan dan cintaku. Tetapi kau, sekali lagi tidak pernah memperhitungkan aku. Kau hanya menatapku tak berkedip tanpa berkata apapun, namun berjuta makna terbaca di sana. Tentang amarah yang terpendam, tentang rindu yang terbenam, tentang asa yang tenggelam. Ah, matamu tegas menikam kepedihanku, kuat sekali.

Akulah satu-satunya anakmu yang masih tinggal pada atap yang sama. Aku akan menjagamu ketika ibu berangkat ke tanah suci disaat penyakitmu datang. Mengeluhlah kepadaku, Pak. Merataplah kepadaku akan sakitmu. Demi Tuhan, dingin gigil ruang yang berjarak pada diri kita tak akan mampu meluluh leburkan benih kasih sayangku kepadamu. Jangan biarkan aku menjadi orang asing di hadapanmu.

Aku adalah pewaris sikap dan watak kerasmu di antara saudara-saudaraku. Sehingga di antara kita selalu saja ada percikan api yang menggeremang. Suara-suara lantang yang bertabrakan dan memantul-mantul di setiap ruang saat kita berselisih paham. Ketika kecil aku hanya menangis menerima sentilan keras yang menciptakan merah ungu di telingaku. Juga cubitan jemarimu yang gempal di pahaku nan membiru. Segala hal berbeda ketika aku bertambah besar, setinggi tubuhmu, kuperlihatkan ketidaksukaanku, mempertentangkan habis-habisan segala peraturanmu. Aku belajar menentangmu, Pak. Namun aku mencintaimu sangat. Andai engkau tahu itu………

Kau selalu menyebutku pembangkang, bahkan semua saudara dan ibu memberiku predikat demikian. Mungkin semua itu benar, namun bukan berarti aku tak pernah mengasihi dirimu, tempat dimana segala energi pemberontakanku terpusat.

Kau, seorang Bapak yang demikian ku kenal, yang selalu berbicara dengan suara lantang dan tegas, yang tiap kali menggeletarkan ruangan di mana kita bercanda, kini terengah menyeret dengan kekuatan sebelah tubuhmu. Matamu basah, Pak. Itulah air mata pertama yang kau deraikan untukku. Aku belum pernah melihatmu menangis………

Suaramu tak lagi garang, tatapanmu tak lagi menikam, dengan kata-kata yang sulit kau ucapkan karena lidahmu yang telah kelu sebelah, kau memohon padaku untuk tidak pergi, sebelum kau bertemu ajalmu. Tak sanggup lagi kudengar suaramu yang terbata dan tidak jelas, kita berpelukan dengan haus dan air mataku yang tumpah ruah di dadamu, betapa kuinginkan dekap hangat seperti ini sejak dulu. Maka Bapak, cintaku padamu yang terpendam berhamburan ke permukaan hatiku, meluluhlah keras hati kita. Aku akan membayar mahal dengan mengabulkan permintaanmu. Apalah artinya kemudian segala yang harus kutunaikan dibanding hangat hatiku berada di pelukmu, mendengarmu pintamu untuk dibahagiakan. Aku menjadi demikian berarti bagimu. Kepatuhan terbesarku ini akan ku persembahkan padamu, tanpa perasaan terhina, terluka, menekan amarah, namun karena rasa cintaku yang terlampau besar padamu.

Bapak, terima simpuhku di sudut kakimu dengan segala maaf dan terima kasihku kepadamu. Atas dasar kasih sayang yang tak mengenal kata akhir,
anakmu…..

Kututup halaman buku harianku yang telah menjadi saksi pengakuan dosaku itu. Kuraih selembar foto, gambar itu bercerita banyak; seorang anak kecil dengan mata berbinar sedang duduk di bebatuan air terjun bersama seorang ibu dan bapak. Bahagianya kami ketika itu, mengejar mimpi-mimpi asa keluarga. Pipiku membasah, ada kelegaan luar biasa yang mengalir bersamanya. Aku makin mencintaimu.
Bapak, kini waktu itu telah lama berselang dan kau pun telah tenang diperbaringan sana. Kini aku beserta adikku akan selalu menjaga namamu, ibu pun telah bekerja keras untuk menghidupi kami, meneruskan cita-cita yang kau impikan…

dedikasi khusus buat dia yg telah memberikan inspirasi untuk menghasilkan karya ini...
 

Lorem

Ipsum

Dolor