life is a big joke

Jangan biarkan ide muw usang dimakan waktu, tuangkanlah dalam goresan tinta keabadian.....

SMART BOX

Senin, 07 Mei 2012


Smart box, mungkin seperti itu julukan dari saya buat benda yang satu ini. Bagi sebagian orang mungkin dia adalah jawaban atas segala pertanyaan ini, jawaban atas segala ke’instant’an masa kini atau bahkan jelmaan tuhan yang membuat segalanya menjadi mudah dan efektif untuk diselesaikan. Selamat tinggal dunia kemalasan, selamat tinggal waktu yang telah banyak terbuang semua segera akan menjadi lebih baik.

Saya  mengenal benda tersebut saat saya masih duduk di kelas I SMP pada tahun 2001. Saya bersekolah di SMP Negeri 4 Makassar. Mata pelajaran teknologi informasi tepatnya yang memperkenalkan saya dengan benda tersebut, DOS Operating System itu yang pertama kali disebut guru pelajaran ini. Selanjutnya kami, para murid, diharuskan membeli satu disket kecil dan satu disket besar yang katanya berguna untuk menyimpan data.


Saya menyampaikan hal ini kepada orangtua saya agar segera memenuhi permintaan guru saya. Ayah saya pun membelikan saya disket kecil. Tapi ia juga mengatakan bahwa disket besar sudah tidak diproduksi lagi. Serentak saya pun merasa, apakah ini bentuk keterbelakangan saya atau perkembangan dunia yang memang cepat. Apapun itu saya tidak perlu. Yang terpenting pada masa itu saya masih dan harus tetap bermain dengan teman-teman di sekitar saya.

Singkat cerita, pertama kali saya memiliki benda tersebut yakni ketika memasuki bangku sekolah menengah atas. Itu pun bukan karena asas kebutuhan, melainkan pengaruh lingkungan sekitar dan takut tertinggal dengan teman-teman saya (mungkin lebih tepatnya hanya karena gengsi dan enggan dikatakan gaptek [gagap teknologi]). Untuk itu, orangtua saya harus menjual sepetak sawah miliknya di kampungnya, Palopo, sekitar 300 kilometer utara Makassar. Harapannya agar benda ini bisa membantu proses belajar saya. Namun tentu saja benda ini bukan tujuan kepemilikan untuk saya sendiri, tapi saya pakai berdua dengan kakak saya. Fungsi lainnya, benda itu furniture tambahan di dalam rumah.

Kehidupan saya pun berubah drastis sesaat setelah hadirnya benda tersebut. Budaya konsumerisme semakin melekat dengan saya. Saya hanya memikirkan bagaimana cara mempercantik atau pun memperbagus benda tersebut, baik secara isi maupun penampilannya. Waktu saya banyak terbuang di hadapan benda tersebut. Bukan untuk sesuatu yang lebih berguna melainkan hanya untuk memutar lagu, bermain game, menonton dan mengoleksi film biru (hal yang wajar untuk usia saya pada waktu itu), dan terkadang juga untuk mengetik tugas manakala guru mengharuskan menggunakan benda tersebut.

Banyak hal yg tanpa saya sadari berubah secara drastis. Saya tak pernah lagi keluar rumah untuk bermain dengan teman-teman saya. Saya hanya memikirkan bagaimana cara secepat mungkin untuk bertemu dengan benda tersebut. Bahkan sering saya harus berlomba pulang sampai ke rumah dengan kakak saya hanya untuk bertemu dengan benda ini. Dan konsekuensinya, yang kalah (karena terlambat pulang) harus mengantri sampai yang menang (si cepat pulang) puas bertemu dengan benda tersebut. Aneh kan!

Melangkah jauh ke depan, belakangan ini saya baru menyadari akan apa yg telah terjadi di kehidupan saya tentunya sangat mengkhawatirkan akibat dari benda ini. Bayangkan saja jika dulu ketika saya masih kecil dulu segala bentuk permainan tak akan nikmat jika tak dilakukan bersama. Dalam setahun dulu ada berbagai musim, seperti musim layangan, kelereng, wayang, bola gebo, permainan karet, main bom, petak umpet bahkan sampai musim sepeda terasa aneh jika dilakukan sendiri. Dalam setiap permainan tersebut kita diajarkan untuk kekompakan, kebersamaan, rasa memiliki, berkompetisi, dan sebagainya.

Namun seiring perkembangan yang diciptakan komputer, permainan rakyat di atas tak lagi populer bahkan terancam punah (ini merupakan bagian dari budaya). Segala sesuatunya harus dilakukan sendirian dengan jarak yang jauh. Sebut saja jaringan sosial yang marak sekarang ini, ia takkan nikmat jika memainkannya secara bergerombol dalam suatu ruang meskipun masing-masing personal memiliki benda tersebut.

Apatis? Mungkin itu yang akan terjadi jika dilakukan bersama. Kita tak perlu saling bertatap muka dan salaman lagi jika hendak berkenalan ataupun mengucapkan sesuatu (ucapan selamat sampai permohonan maaf).

Apakah ini merupakan suatu kemajuan atau kemunduran?

Bayangkan saja jika dalam sepuluh atau dua puluh tahun ke depan orang-orang yang tumbuh dewasa bukan lagi dari orang-orang yang hidup di zaman sebelum hadirnya komputer. Mungkin tepat juga kata Marcos, perang dunia keempat tengah berlangsung dengan cara yang berbeda. Anda tidak perlu menghancurkan manusianya, cukup menghancurkan sisi kemanusiaannya.

4 Mei 2012
Menggunakan benda tersebut, KOMPUTER
(Nb: tulisan ini juga dipublikasikan di http://tanahindie.net/?p=421 dalam rangka penelitian perkembangan sosial budaya makassar menggunakan "kendaraan" komputer)

knowledge is power

Kamis, 03 Mei 2012

Hari ini tepat 2 mei 2012, dimana bagi sebagian orang hari ini dinamakan sebagai hari pendidikan nasional. Entah istilah itu kapan dan datang dari mana, aku tak berniat untuk mengetahuinya. Yah karena itu hanyalah simbolisasi semu yang lebih bersifat materialistik.

Seperti biasanya bangun disiang hari, berharap dunia disekitarku akan jauh lebih baik sesaat setelah aku terlelap dari mimpi indahku. Yah aku tidur bukan karena rasa kantuk yang menyelimuti, tapi hanya karena sejenak ingin meninggalkan dunia antah berantah ini menuju dunia yg kubangun sendiri dalam lelapku.

Cuci muka, mandi (kalau perlu) dan melakukan aktivitas sehari-hari merupakan sebuah kerutinan bagi mereka yg hingga kini masih disebut manusia, begitu pula aku. Nothing about ordinary, semua begitu biasa saja seperti hari kemarin, mungkin sebagian orang hari ini adalah sebuah hari yang patut dirayakan. Maksud saya digembor-gemborkan dengan cara pribadi masing-masing, yah sebut saja dengan corat-coret kata manis diberbagai media sosial yang sebenarnya itu hanyalah semu belaka dan saya yakin keesokan harinya semua itu akan hilang dengan sendirinya seiring pergantian tanggal.

Bagi sebagian orang sekarang mungkin masih tanggal tua, -yah berhubung kita bukan pegawai negeri yg upahnya selalu tepat pada waktunya meskipun kerjanya kadang-kadang bahkan sering kali tidak pernah tepat-, jadi wajar saja ngutang diberbagai warung makan aalah sebuah hal yang lumrah. Kali ini pun aku hendak melakukan itu. Berjalan dengan segenggam kotak rokok dan sebuah Hp memantapkan langkahku ke warung kopi.

“Pakde’ kopi hitamnya satu agak pahit yah, biasa ngutang dulu” ujar ku.
“Sippp”, jawab pakde tanpa bertanya apapun.

“Semua berjalan begitu saja, bahkan aku tak menyangka saat-saat seperti ini aku mendapatkan pelajaran hidup lagi”

Sesaat setelah kopi ku disajikan mantap dihadapanku, percakapan (pelajaran) ini pun mulai berlangsung. Awalnya hanya basa-basi menanyakan kabar, kesibukan apa hari ini hingga aku menanyakan “pakde anaknya udah pada gede’ yah ?”
“anak saya lagi dipondok, sebentar lagi dia akan lulus. Aku sangat bangga dengannya” jawab pakde’
Dia anak tertua saya, adiknya yang satu lagi masih di sekolah dasar, tepatnya dikelas lima. Yahh walaupun sudah tua, saya masih berharap agar dapat menyekolahkan mereka sampai jenjang tertinggi (mungkin maksudnya sampai sarjana), lanjutnya.

Aku pun terdiam, tak tahu ingin berkata apa. Melihat usianya yang sudah mulai uzur (terlihat dengan rambutnya yang sudah memutih semua) saya salut dengan semangat dan harapan yang ia miliki. Ia kemudian melanjutkan ceritanya bahwa tempat kursus disamping warung kopi ini merupakan miliknya, hal ini membuatku semakin terdiam. Bukan tanpa alasan, melihat warungkopi tersebut yang hanya beralaskan tanah, berdindingkan bambu rotan (saya tak tahu padanan kata yang tepat untuk menggambarkannya) dan beratapkan jerami sangat kontras dengan tempat kursus tersebut yang beralaskan tehel putih mengkilap, berdindingkan tembok dan beratapkan genteng merah. Ia bisa saja memlih tinggal dirumah tembok tersebut namun ia lebih memilih tinggal dan tidur di warung kopi tersebut dengan alasan pendidikan jauh lebih utama maka ia lebih memilih tempat yg ia tempati sekarang. Ia berpesan apalah arti sebuah ke"mewah"an jika kau sendiri tak "mewah". Apalah arti akan kepemilikan. Yang penting ‘isi’ kegunaannya bukan siapa yg meng’isi’nya. Mungkin aku tak dapat menjabarkan secara jelas maksud perkataan tulisan diatas, tapi setidaknya aku dapat memahaminya.

Jika Kau ingin membunuhku, bunuh semangatku terlebih dahulu

2 mei 2012
Selamat hari pendidikan


 

Lorem

Ipsum

Dolor