life is a big joke

Jangan biarkan ide muw usang dimakan waktu, tuangkanlah dalam goresan tinta keabadian.....

Antara Jakarta dan Papua

Kamis, 21 Juni 2012


Penyelesaian konflik di Papua terhambat oleh masih adanya ‘tembok’ yang memisahkan Papua dengan Jakarta. Persoalan tersebut adalah masalah ketidakpercayaan. Hal itu membuat apapun upaya yang selama ini diinisiasi pemerintah, gagal dan membutuhkan dialog sebagai pembuka jalur penyelesaian. ketidakpercayaan rakyat Papua telah lama terjadi. Hal itu juga dipicu oleh langkah pemerintah sendiri dalam merespons konflik Papua. Misalnya, keberadaan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sejak 1965, yang dijawab pemerintah dengan menurunkan tentara. Sayangnya, tentara saat itu tidak hanya menembaki para anggota OPM, melainkan juga membakar kampung-kampung dalam rangka mendukung upaya tersebut.
NEGERI YANG TAK PERNAH ADA KEDAMAIN.
Penulis sengaja katakan negeri yang tak pernah ada kedamain karena Papua kapan saja dimana saja bisa damai, bisa senang dan bisa mencekam hal itu bukan menjadi hal yang tabu setiap tanggal 1 Desember Rakyat Papua tahu mereka akan terusik, sebelum HUT RI 17 Agustus pasti ada upaya pengibaran bintang kejora dan berbagai macam cara dan bentuk Papua tidak aman, serta berbagai aksi penembakan sewaktu-waktu bisa kembali terjadi oleh Orang Tak di kenal. Dan terlebih stikmanisasi orang Papua yang terus membunuh karakter bangsa Papua, Ini bukan kali pertama terjadi konflik ini telah dimulai sejak Indonesia menguasai Papua sejak tanggal 1 Mei 1963 dan hingga kini, persoalan Otsus banyak belum dituntaskan secara komperhensif dan menyeluruh. Baik itu persoalan Hak Asasi Manusia (HAM), persoalan ekonomi, dan masih banyak persoalan lainya dan rentetan dari persoalan-persoalan inilah yang menimbulkan stigma orang Papua mungkin bukan orang Indonesia, layaknya seperti orang Indonesia lain sehingga rasa ketidak percayaan orang Papua semakin tinggi, ketidakpercayaan ini diperlihatkan melalui beberapa cara. Yaitu mendesak perlu ada dialog antara pemerintah Indonesia dan orang Papua dan tuntutan referendum yang dimunculkan terutama dari kalangan pemuda dan mahasiswa yang tergabung dalam berbagai forum-forum ekstrim di papua.
Buntutnya pergolakan demi pergolakan terus dilakukan untuk meminta pengakuan yang sama sebagai warga negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka menyelesaikan konflik Papua, telah melakukan sejumlah operasi militer secara besar-besaran di tanah Papua. Operasi militer yang menewaskan warga atau masyarakat sipil, merusak fasilitas tidak dapat ditolelir sebagai kelasiman prosedur militer, rasanya tidak ada prosedur baku seperti itu, ini cara-cara tersebut merupakan pelanggaran berat atas HAM, terlebih kepada masyarakat sipil, dan juga melanggar aturan sebagai operasi militer, mereka harus melindungi nyawa masyarakat sipil dan konflik yang berlarut-larut. Banyak kalangan menilai operasi militer yang kurang selektif dan diskriminatif, telah menumbuhkan perasaan tidak senang yang meluas.
Padahal untuk menyelesaikan masalah Papua menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) “pemerintah perlu suatu strategi untuk identifikasi susber-sumber komflikya lebih dulu secara jelas. Upaya penyelasaian dengan jalan kekerasan tentu tidak akan menyelesaikan konflik Papua, selain dengan jalan damai. Banyak pihak sudah mengumandangkan pentingnya dialog antara pemerintah dan orang Papua atau dialog Jakarta dengan Papua untuk menyelesaikan konfilk secara damai karena pengalaman dan sejarah Papua memperlihatkan bahwa kekerasan tidak pernah menyelesaikan konflik Papua. Kekerasan malah menambah jumlah korban dan memperbanyak masalah. Maka penyelesaian konflik Papua hanya melalui jalan damai yakni dialog, Baik itu dialog internal orang Papua, warga Papua, wakil-wakil orang Papua di dalam dan di luar negeri dan dialog pemerintah Indonesia dengan orang Papua karena. Dialog merupakan suatu kebutuhan yang mendesak untuk mencegah pertumpahan darah di masa depan.
Pernyataan ini (Dialog) merupakan satu topik utama yang selalu muncul sebagai tuntutan disetiap aksi-aksi (Demonstrasi) yang dilakukan oleh orang Papua. Namun tidak pernah terealisai. padahal komitmen Indonesia untuk menyelesaikan konflik Papua secara dialog sudah dinyatakan secara publik. Oleh berbagai pihak seperti pernyataan Mentri Luar Negeri Hasan Wirayuda yang mengumumkan niat pemerintah yang mengutamakan solusi tanpa kekerasan. dan DPR RI selaku pihak legislatif telah memperlihatkan pentingnya dialog untuk menyelesaikan konflik Papua. Pandangan DPR ini diungkapkan oleh Komisi I yang membidangi Pertahanan dan Masalah Luar Negeri melalui Ketuanya Teo L Sambuaga, yang mendorong pemerintah sebaga pihak legislatif agar segera mengadakan dialog nasional dan lokal untuk menyelesaikan konflik Papua.
Semua komiten pemerintah ini sesuai dengn niat atau komitmen pribadi Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang berkehendak mengatasi berbagai persoalan di Indonesi dengan tiga pendekatan utama, masing-masing keadilan, demokrasi dan damai. Untuk menyelesaikan konflik Papua harus secara damai dan demokratis seperti penyelesaian konflik di Nanggroe Aceh Darussalam “Papua sudah sangat jelas, Kita akan mengedepankan cara-cara demokrasi dan damai seperti di Aceh” . Banyak pihak sudah mengumandangkan dialog antara pemerintah dan orang Papua atau dialog Jakarta-Papua untuk menyelesaikan konflik Papua secara damai. Namun hingga kini belum ada suatu konsep tertulis tentang dialog Jakarta-Papua yang dikehendaki oleh pemerintah dan orang Papua.
Desakan dialog yang kuat dari berbagai kalangan yang dituangkan dalam suatu konsep tertulis untuk menyelesaikan konflik Papua dengan cara dialog dan TIDAK BERBICARA SOAL MERDEKA.
“Untuk keluar dari konflik berkepanjangan ini, pemerintah jangan lagi menggunakan pendekatan keamanan. Sebab, harus menempuh dialog berlapis. Mulai dari dialog di internal Papua, dialog antara pemerintah, serta yang terpenting adalah dialog antara Papua dengan Jakarta,"

Papua dan Freeport


Papua merupakan provinsi terbesar di Indonesia yang terletak di bagian tengah atau bagian paling timur Irian Jaya (West New Guinea), dimana bagian timurnya merupakan wilayah teritori negara Papua Nugini (East New Guinea). Provinsi Papua dulu mencakup seluruh wilayah Papua bagian barat, sehingga sering disebut sebagai Papua Barat terutama oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM), gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan membentuk negara sendiri. Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini dikenal sebagai Nugini Belanda (Nederlands  Nieuw-Guinea atau Dutch New Guinea). Setelah berada bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia Indonesia, wilayah ini dikenal sebagai Provinsi Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973. Namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi hingga 2002, dan kemudian mengalami pemekaran sehingga kembali menjadi propinsi Papua Barat-Manokwari dan propinsi Papua-Jayapura.
Pada Februari 1623, pelaut Belanda Jan Cartensz yang berlayar di sebelah selatan Pulau Papua melaporkan dalam jurnalnya: suatu pagi yang cerah mereka menyaksikan suatu gunung tinggi yang puncaknya berwarna putih. Ketika itu, banyak orang di Eropa menyangsikan laporannya dan menganggapnya sebagai pembual ketika ia mengatakan bahwa di suatu wilayah khatulistiwa terdapat gunung salju abadi. Beberapa peneliti yang tertarik dengan laporan “bualan”-nya itu kemudian melakukan serangkaian ekspedisi ke Pegunungan Nemangkawi.
Pada 25 April 1960, Nederlands Nieuw Guinea Petrolium Maatschappy (NNGPM) melakukan pendakian dalam skala besar kepegungan bersalju Nemangkawi, dipimpin A.J. Wintrachen dari Belanda dan seorang geolog Amerika, D. Flind. Ekspedisi kali ini juga merupakan kelanjutan dari dari ekspedisi sebelumnya yang telah dilakukan Dr. A.H. Colijn di tahun 1936 sampai 1937 bersama geolog Dr. J.J Dozy yang menemukan kandungan bijih-bijih mineral di salah satu puncak Nemangkawi, Yelsegel Ongopsel, yang kemudian mereka sebut sebagai Gunung Bijih, Eastberg.
Dalam rombongan ekspedisi itu terdapat sembilan belas orang pegawai pemerintah kolonial Belanda, polisi, porter, dan penerjemah. Salah seorang dari mereka adalah Moses Kilangin Tenbak, seorang guru SD Kampung Amkayagama, Lembah Tsinga hilir. Moses Kilangin adalah seorang putra suku bangsa Amungme. Pemilik hak ulayat (ulayat = tanah adat, ed.) atas tanah Amungsa, Pegunungan Nemangkawi, Cantensz.
Amungsa merupakan wilayah yang ditempati suku bangsa Amungme yang meliputi puncak-puncak Pegunungan Nemangkawi yang tinggi (Cartensz), lembah-lembah yang subur, seperti Tsinga, Noemba dan Waa, serta sungai-sungai yang membelah pegunungan dari barat ke timur dan dari utara ke selatan. Salah satu puncak Nemangkawi adalah Yelsegel Ongopsel (Eastberg), yang dalam bahasa Amungme berarti “gunung yang berkilauan laksana bulu burung Cenderawasih hitam”.
Menurut Arnold Mamperior dalam bukunya Amungme Manusia Utama Dari Nemangkawi Pegunungan Cartensz, Gunung Yelsegel Ogopsegel adalah wilayah keramat—tempat asal mula leluhur suku Amungme—dan sebagai tempat beristirahatnya burung Yelki dan Ongopki yang dipuja keret-ndartem (klan) Narkime dan Magal. Gunung yang puncaknya 130 meter dari permukaan tanah dan kedalamannya dua kali lipat ke dalam perut bumi ini, sudah lenyap dikeruk oleh Freeport dan kini yang tersisa adalah ceruk, sumur raksasa, yang airnya berasal dari curah hujan.
Perusahaan tambang Freeport milik Amerika yang berporasi sejak tahun 1973 menandatangi kontrak karya dengan rezim Orde Baru Soeharto untuk menambang bijih-bijih tembaga di wilayah Nemangkawi, gunung Yelsegel Ogopsegel, Eastberg. Tahun 1991 kontrak karya ini diperbaharui, berlaku hingga 30 tahun (sampai 2041), dengan klaim bahwa geolog Freeport baru menemukan emas di Gunung Tenogama/Enagasin, Grassberg tahun 1988 dengan kandungan emas terbesar di dunia dan tembaga menempati urutan nomer ketiga.
Menurut Memperior, Amungme berarti Manusia Pertama, Manusia Sejati, atau Manusia Sesungguhnya. (Amung berarti Pertama, Utama, Sejati, Sesungguhnya; dan Me berarti Manusia, Orang). Suku Manusia Utama ini memberi nama Nemangkawi kepada pegunungan yang bersalju ini sejak jaman leluhur mereka. Sebagai suku pegunungan, suku Amungme memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan alam dalam istilah mereka Te Aro Newek Lak-o, yang berarti: Alam adalah Aku. Sungai, lembah, dan pegunungan adalah tubuh ibu atau mama suku Amungme.
Para peneliti Eropa menamainya Pegunungan Nemangkawi dengan sebutan Cartensz. Soekarno memberi nama Puncak Soekarno ketika terbang di atas Pegunungan Nemangkawi pada 5 Mei 1963 dalam perjalanan menuju Biak ke Merauke dan sebelumnya Soekarno sudah mengganti nama Hollandia (Kota Baru) menjadi Soekarnopura. Pada zaman rezim Orde Baru, Soeharto mengganti namanya menjadi Puncak Jaya dan Soekarnopura menjadi Jayapura.
Selang beberapa bulan setelah Kudeta Militer tahun 1965, Freeport Mc Moran mulai menjajaki kemungkinan investasi untuk mengeksploitasi Pegunungan Nemangkawi, Cartensz. Pada 3 Maret 1973, Soeharto meresmikan beroperasinya penambangan Freeport tanpa meminta persetujuan dari masyakakat adat Amungme, pemilik sah tanah ulat di Pegunungan Nemangkawi. Dengan kepemilikan saham terbesar jatuh kepada: Freeport Mc Moran sebesar 67,3 persen, PT Indocopper Investama 9,3 persen, join venture dengan Rio Tinto Group 13 persen, dan pemerintah Indonesia 9,3 persen. Dalam laporan yang dirilis di mining-technology.com, pada 2006 Freeport memproduksi 610. 800 ton tembaga, 58.474,392 gram emas, dan 174.458.971 gram perak.
Salah seorang komisaris pemegang saham di perusahaan tambang raksasa ini adalah Henry Kissinger, Sekretaris Negara Amerika Serikat ke-56 dari tahun 1973 sampai 1977 dan pernah menjabat sebagai Pembantu Penasehat Keamanan Nasional untuk presiden dari tahun 1969 sampai 1975. Henry Kissinger adalah seorang diplomat ulung yang disebut-sebut beberapa pakar terlibat dalam penggulingan pemerintahan Soekarno dan secara aktif turut serta dalam membasmi gerakan komunis di Asia.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Mimika mencatat jumlah penduduk terus bertambah setiap tahunnya. Pada 2007 tercatat 171.000 orang lebih. Jumlah suku-suku asli adalah 30.000. Dari jumlah tersebut suku Amungme dan Kamoro adalah yang terbesar dari 5 suku lainnya. Dari keseluruhan jumlah suku-suku asli di wilayah Mimika, diperkirakan hanya 10.000 yang lulus dari pandidikan Sekolah Dasar. Artinya, lebih dari separuh lebih suku-suku asli ini adalah buta huruf. Sementara itu, hingga 2008, jumlah pekerja di pertambangan Freeport lebih dari 19.000 ribu jiwa.
Selain persoalan pendatang yang menyebabkan suku-suku asli ini semakin terdesak kepinggiran dan menimbulkan kecemburuan sosial, pesoalan lainnya adalah penularan HIV dan AIDS. Provinsi Papua menempati urutan teratas dalam penularan HIV dan AIDS di Indonesia dan Kabupaten Mimika adalah yang tingkat penularannya paling tinggi di seluruh wilayah Papua.
Berdasarkan survey HIV dan AIDS tahun 2006 yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan dan WHO, prevelensi HIV di Papua sebesar 2,4 persen. Ini berarti penderita HIV di Mimika lebih dari 3.000 orang dan 50 persen menyebar di masyarakat 7 suku (Amungme 23 persen, Mee/Ekari 17 persen, dan Dani 17 pesen). Pada priode Agustus 2008, KPAD (Komisi Penanggulangan Aids Daerah) Mimika menemukan kasus HIV dan AIDS di Mimika meningkat tajam, mencapai 1.300 kasus dan telah merenggut nyawa 86 orang. Yang terdiri dari kasus HIV sebanyak 1.283 dan AIDS sebanyak 199 yang menyebar melalui hubungan seksual sebanyak 1.284 kasus, dari ibu ke anak 29 kasus, homoseksual 1 kasus, tranfusi darah 1 kasus, dan tidak diketahu identitasnya 7 kasus.
Pengelolaan dana “bantuan sosial” dan 1 persen pendapatan kotor Freeport yang merupakan konsesi atas tanah ulayat Amungme dan Kamoro juga menimbulkan berbagai masalah di tahun 1990-an. Tidak ada bentuk nyata bahwa suku pedalaman ini telah merasakan hasil dari dana-dana tersebut dengan peningkatan kualitas hidup mereka. Di Banti, misalnya, sebagai salah satu pusat pemukiman suku Amungme, dengan kekayaan alam gunung emas yang terbesar di dunia, banyak anak-anak yang pendidikannya terlantar. Penduduknya tinggal dalam honey-honey (rumah tradisional) yang tidak hiegenis, berbentuk bulat di dalamnya pengap tanpa cahaya matahari yang cukup: tempat bersarangnya berbagai macam jenis penyakit, seperti TBC dan penyakit menular lainnya.
Penyaluran dana ini pun awalnya cukup aneh. Dana itu dibagi-bagikan melalui tetua-tetua adat kepada masyarakat melalui lembaga-lembaga yang mengklaim sebagai lembaga adat. Menurut pengakuan penduduk setempat, per tiga bulan ada yang mendapat sampai 20 juta setiap keluarga. Dalam masyarakat yang pola hidupnya masih meramu dan berburu, sisa-sisa dari kebudayaan zaman batu, mau diapakan dana dalam jumlah yang sangat besar itu? Umumnya, setelah mendapatkan dana tersebut, mereka membeli berbagai kebutuhan pokok, melakukan pesta, dan tak jarang para laki-laki turun ke Timika untuk mengunjungi tempat-tempat prostitusi dan mabuk-mabukan.
Pergeseran-pergeseran nilai-nilai adat yang kini mengalami kemerosotan dalam masyarakat adat Amungme tidak lepas dari masuknya berbagai pengaruh asing. Ketika gereja dan negara datang menggantikan lembaga dan hukum-hukum adat, secara perlahan berbagai kearifan yang diwariskan leluhur Amungme mulai ditinggalkan. Sementara itu, nilai-nilai negatif terus dipertahankan, misalnya dijabarkannya konflik suku menjadi konflik modern yang melibatkan berbagai kepentingan elit-elit pusat dan lokal: orang-orang yang paling diuntungkan dengan hadirnya Freeport di Bumi Amungsa!
Ketika kita berbicara mengenai kepentingan modal, bagi suku Amungme, negara hadir dalam bentuk yang sangat represif, menindas dan mengintimidasi. Misalnya, ketika masyarakat adat mempertanyakan hak-hak mereka atas tanah, air dan gunung-gunung yang dulu merupakan asal-usul leluhur bangsa Amungme, mereka malah dicap separatis, pendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM).

alienKissme

Minggu, 17 Juni 2012

Tanah seharusnya dipenuhi dengan tumbuh-tumbuhan tetapi orang kaya kemudian lebih memilih menanamnya dengan bangunan-bangunan pencakar langit dari dompet mereka.
mungkin ini merupakan akumulasi dari kemalasan dan kerakusan mereka yang merebut tenaga dan semangat dari mereka yang lainnya.

kebutuhan adalah sumber kehidupan yang letaknya ada pada setiap HATI manusia

10 juni 2012
duduk dibangku bus paling belakang  surabaya-malang

Dirgasme

keinginan adalah sumber penderitaan yang letaknya ada dipikiran, tetapi entah mengapa setiap insan berlomba-lomba ingin memenuhi pikirannya dengan berbagai keinginan, maksud saya pengetahuan.

hmm mungkin bisa saja sebagai jalan dalam pencarian jawaban atas segalanya, tapi bukankah semakin banyak pengetahuna yang dimiliki seseorang, semakin banyak pula keinginan yang inginkan ? dan tentunya itu belum #dantakakan pernah terpenuhi.

bukankah inti dari pengetahuan untuk memanusiakan manusia (humanisasi) ?

lantas mengapa ia berubah menjadi sosok yang begitu menakjubkan dan cenderung akan menjadi candu. setiap insan berlomba-lomba untuk memenuhi pikiran mereka dengan pengetahuan (tanpa rasa munafik, penulis merupakan bagian dari hal tersebut) dan pengetahuan akan mendorongnya untuk menginginkan apa yang hadir dalam pikirannya, sebut saja sebagai penderitaan, atau mungkin sebut saja pikiran, humanisasi yang sesungguhnya hanyalah sumber penderitaan yang dicintai khalayak.


Malang,  10 juni 2012
terik dibawah gerbang terminal arjosari
 

Lorem

Ipsum

Dolor