Penyelesaian konflik di Papua
terhambat oleh masih adanya ‘tembok’ yang memisahkan Papua dengan Jakarta.
Persoalan tersebut adalah masalah ketidakpercayaan. Hal itu membuat apapun
upaya yang selama ini diinisiasi pemerintah, gagal dan membutuhkan dialog sebagai
pembuka jalur penyelesaian. ketidakpercayaan rakyat Papua telah lama terjadi.
Hal itu juga dipicu oleh langkah pemerintah sendiri dalam merespons konflik
Papua. Misalnya, keberadaan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sejak 1965, yang
dijawab pemerintah dengan menurunkan tentara. Sayangnya, tentara saat itu tidak
hanya menembaki para anggota OPM, melainkan juga membakar kampung-kampung dalam
rangka mendukung upaya tersebut.
NEGERI YANG TAK PERNAH ADA
KEDAMAIN.
Penulis sengaja katakan negeri
yang tak pernah ada kedamain karena Papua kapan saja dimana saja bisa damai,
bisa senang dan bisa mencekam hal itu bukan menjadi hal yang tabu setiap
tanggal 1 Desember Rakyat Papua tahu mereka akan terusik, sebelum HUT RI 17
Agustus pasti ada upaya pengibaran bintang kejora dan berbagai macam cara dan
bentuk Papua tidak aman, serta berbagai aksi penembakan sewaktu-waktu bisa
kembali terjadi oleh Orang Tak di kenal. Dan terlebih stikmanisasi orang Papua
yang terus membunuh karakter bangsa Papua, Ini bukan kali pertama terjadi
konflik ini telah dimulai sejak Indonesia menguasai Papua sejak tanggal 1 Mei
1963 dan hingga kini, persoalan Otsus banyak belum dituntaskan secara
komperhensif dan menyeluruh. Baik itu persoalan Hak Asasi Manusia (HAM),
persoalan ekonomi, dan masih banyak persoalan lainya dan rentetan dari
persoalan-persoalan inilah yang menimbulkan stigma orang Papua mungkin bukan
orang Indonesia, layaknya seperti orang Indonesia lain sehingga rasa ketidak
percayaan orang Papua semakin tinggi, ketidakpercayaan ini diperlihatkan
melalui beberapa cara. Yaitu mendesak perlu ada dialog antara pemerintah
Indonesia dan orang Papua dan tuntutan referendum yang dimunculkan terutama
dari kalangan pemuda dan mahasiswa yang tergabung dalam berbagai forum-forum
ekstrim di papua.
Buntutnya pergolakan demi
pergolakan terus dilakukan untuk meminta pengakuan yang sama sebagai warga
negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka menyelesaikan konflik Papua,
telah melakukan sejumlah operasi militer secara besar-besaran di tanah Papua.
Operasi militer yang menewaskan warga atau masyarakat sipil, merusak fasilitas
tidak dapat ditolelir sebagai kelasiman prosedur militer, rasanya tidak ada
prosedur baku seperti itu, ini cara-cara tersebut merupakan pelanggaran berat
atas HAM, terlebih kepada masyarakat sipil, dan juga melanggar aturan sebagai
operasi militer, mereka harus melindungi nyawa masyarakat sipil dan konflik
yang berlarut-larut. Banyak kalangan menilai operasi militer yang kurang
selektif dan diskriminatif, telah menumbuhkan perasaan tidak senang yang
meluas.
Padahal untuk menyelesaikan
masalah Papua menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) “pemerintah
perlu suatu strategi untuk identifikasi susber-sumber komflikya lebih dulu
secara jelas. Upaya penyelasaian dengan jalan kekerasan tentu tidak akan
menyelesaikan konflik Papua, selain dengan jalan damai. Banyak pihak sudah
mengumandangkan pentingnya dialog antara pemerintah dan orang Papua atau dialog
Jakarta dengan Papua untuk menyelesaikan konfilk secara damai karena pengalaman
dan sejarah Papua memperlihatkan bahwa kekerasan tidak pernah menyelesaikan
konflik Papua. Kekerasan malah menambah jumlah korban dan memperbanyak masalah.
Maka penyelesaian konflik Papua hanya melalui jalan damai yakni dialog, Baik
itu dialog internal orang Papua, warga Papua, wakil-wakil orang Papua di dalam
dan di luar negeri dan dialog pemerintah Indonesia dengan orang Papua karena.
Dialog merupakan suatu kebutuhan yang mendesak untuk mencegah pertumpahan darah
di masa depan.
Pernyataan ini (Dialog) merupakan
satu topik utama yang selalu muncul sebagai tuntutan disetiap aksi-aksi
(Demonstrasi) yang dilakukan oleh orang Papua. Namun tidak pernah terealisai.
padahal komitmen Indonesia untuk menyelesaikan konflik Papua secara dialog
sudah dinyatakan secara publik. Oleh berbagai pihak seperti pernyataan Mentri
Luar Negeri Hasan Wirayuda yang mengumumkan niat pemerintah yang mengutamakan
solusi tanpa kekerasan. dan DPR RI selaku pihak legislatif telah memperlihatkan
pentingnya dialog untuk menyelesaikan konflik Papua. Pandangan DPR ini
diungkapkan oleh Komisi I yang membidangi Pertahanan dan Masalah Luar Negeri
melalui Ketuanya Teo L Sambuaga, yang mendorong pemerintah sebaga pihak
legislatif agar segera mengadakan dialog nasional dan lokal untuk menyelesaikan
konflik Papua.
Semua komiten pemerintah ini
sesuai dengn niat atau komitmen pribadi Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang
berkehendak mengatasi berbagai persoalan di Indonesi dengan tiga pendekatan
utama, masing-masing keadilan, demokrasi dan damai. Untuk menyelesaikan konflik
Papua harus secara damai dan demokratis seperti penyelesaian konflik di
Nanggroe Aceh Darussalam “Papua sudah sangat jelas, Kita akan mengedepankan
cara-cara demokrasi dan damai seperti di Aceh” . Banyak pihak sudah mengumandangkan
dialog antara pemerintah dan orang Papua atau dialog Jakarta-Papua untuk
menyelesaikan konflik Papua secara damai. Namun hingga kini belum ada suatu
konsep tertulis tentang dialog Jakarta-Papua yang dikehendaki oleh pemerintah
dan orang Papua.
Desakan dialog yang kuat dari
berbagai kalangan yang dituangkan dalam suatu konsep tertulis untuk
menyelesaikan konflik Papua dengan cara dialog dan TIDAK BERBICARA SOAL
MERDEKA.
“Untuk keluar dari
konflik berkepanjangan ini, pemerintah jangan lagi menggunakan pendekatan
keamanan. Sebab, harus menempuh dialog berlapis. Mulai dari dialog di internal
Papua, dialog antara pemerintah, serta yang terpenting adalah dialog antara
Papua dengan Jakarta,"
0 komentar:
Posting Komentar