life is a big joke

Jangan biarkan ide muw usang dimakan waktu, tuangkanlah dalam goresan tinta keabadian.....

Elegi Kehidupan

Sabtu, 07 Juni 2014

Siang menanjak terik dan kita masih berdiri di bawah pohon mahoni di tepi jalan. “Aku bosan”, katamu tadi pagi. Kemudian aku menyuruhmu berdandan, kenakan sepatu keds dan jeans belel.  Kita jalan !!, tapi kita tak punya uang, Sayang. Untuk bulan ini sudah habis sebelum gajian, tersisa hanya untuk makan. “Ah, tak apa”, jawabku singkat.

Hingga hari ini aku masih saja rela melakukan apa saja untukmu, meskipun kita sudah tak bersama lagi.

“Aku ingin menua bersamamu, memakai jeans belel yang robek, kaos oblong dan tetap mencintaimu sampai mati”, katamu.

Aku hanya tertawa waktu itu, menyembunyikan jantung yang hampir pindah ke lambung sembari ku hembuskan asap yang sedari tadi menggumpal di mulutku.
Mereka bilang kita hanya elegi cinta monyet. Kau bilang mana ada monyet secantik aku. Kau pintar membuatku tertawa berderai-derai. Pun ketika aku marah sebab kau lelah dan mengacuhkanku, kau mulai mengelitiki telapak kaki, memelukku kencang-kencang dan diakhiri dengan menciumku sambil tersenyum. Kemudian kita akan berbisik-bisik dalam gelap di dalam seprai berbungak dalam satu tempat, yang berbeda. Kita mendiskusikan tentang hebatnya kita jika dapat menaklukkan gunung Rinjani. Aku memotong, “Dapat memandangi Rinjani dari kejauhan, itu seperti lelaki yang hanya bisa memandangi gadis pujaannya tanpa bisa berbuat apa-apa”.[1]

 “Haha, cool”, tawamu.
“Memangnya seperti apa cool itu?”, mukaku meraut masam.
“Sepertimu”, yang sedang cemberut.  

******
Daerah senen semakin ramai dengan hilir mudik kendaraan. Baru saja sebuah vellfire hitam mengklakson yang memekakkan telinga. Di belakang supirnya yang gendut, duduk seorang wanita setengah baya dengan kaca mata hitam menempel di mukanya.
Di depanku berbondong-bondong penyeberang melintasi zebracross entah berjalan menuju kemana. Tiba-tiba mataku tertuju pada seorang wanita dengan baju kurungnya yang berwarna coklat, terlihat menggandeng anak kecil. Perutnya membuncitnya yang membuatnya berjalan lebih lambat. Di sampingnya seorang laki-laki dengan songkok hitam yang lusuh bersungut-sungut. Kupandangi mereka dengan seksama.

Tiba-tiba kau menepuk pundakku, “aku tak mau sibuk sendirian dengan anak kita kelak, kau harus mau membaginya dengan ikut menggendongnya nanti”.
“Tentu saja”, jawabku

Sambil menoleh ke kiri. Kau mempererat genggaman tanganku.
Aku mencintaimu dengan megah. Aku tak dapat berjanji, tapi tentu akan kulakukan.

******
*Beberapa hari sebelumnya

Nanti jika aku punya uang, akan ku ajak kau berjalan-jalan dengan naik kopaja dan ke toko buku bekas. Ongkos kopaja hanya tiga ribu, diambil dari atm bersaldo terakhir. Kau akan duduk di lantai toko sambil menekuri halaman demi halaman yang menguning dan berdebu. Sedangkan aku duduk merokok di luar, aku tak pernah suka membaca. “Aku hanya akan membaca draft tulisanmu”. Kemudian kau akan melotot melihat rokok putih terselip di jariku. Kau tak suka melihatku merokok, “nanti kau cepat mati!”, katamu. “Urusan mati hanya Tuhan yang menulisnya di buku takdir, Sayang. Bukan karena merokok”.

Tapi kau kidal, dan orang kidal juga cepat mati. Aku memilih diam waktu itu.

Kau tahu, aku meluruhkan egoku hampir separuh lebih. Setengah dari takdirmu adalah takdirku. Maka aku berhenti mendebatkan banyak hal dan menerima bahwa cinta sudah memilih jalannya sendiri. Begitu pula kau yang memilih menikahi isi pikiranku yang hanya berisi engkau dan kehidupan di masa depan. Kurasa kita impas, bukan?. “Kurasa cinta tidak menghitung”, kataku.

******
Kau menginginkan buku itu, tapi harganya mahal. Aku merebutnya dari tanganmu, melihat bagian belakangnya dan membolak-balik beberapa halamannya.

“Kau mau es kelapa di depan itu, bisa pesankan sebentar untuk kita?”, kataku.

Kau beranjak dan melihat aku berjalan ke arah kasir dan membuka dompet.

“Ini untukmu”, seringai lebarku tiba-tiba muncul dan duduk di sampingmu. Kau terkejut senang, kau habiskan isi gelasmu dengan cepat, mengelap telapak tanganmu yang basah oleh embun di gelas dan mengelus cover nya yang masih bagus meski tampak tua.

Kita pulang sambil menyusuri trotoar berdebu sambil bergandengan tangan, menunggu kopaja di tepi jalan sambil menahan panas.

******
*setelahnya

Minggu depan aku ke sana lagi. Ke toko buku itu, tapi tanpa genggaman tanganmu lagi.
Aku melanjutkan “kehidupanku”, dan kau pergi kembali pada takdirmu.

06 Juni 2014
Saat Terakhir, ST12
Pertemuan itu indah, namun perpisahan
Jauh lebih bermakna




[1] Kutipan status gilang

0 komentar:

Posting Komentar

 

Lorem

Ipsum

Dolor