life is a big joke

Jangan biarkan ide muw usang dimakan waktu, tuangkanlah dalam goresan tinta keabadian.....

Papua dan Freeport

Kamis, 21 Juni 2012


Papua merupakan provinsi terbesar di Indonesia yang terletak di bagian tengah atau bagian paling timur Irian Jaya (West New Guinea), dimana bagian timurnya merupakan wilayah teritori negara Papua Nugini (East New Guinea). Provinsi Papua dulu mencakup seluruh wilayah Papua bagian barat, sehingga sering disebut sebagai Papua Barat terutama oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM), gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan membentuk negara sendiri. Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini dikenal sebagai Nugini Belanda (Nederlands  Nieuw-Guinea atau Dutch New Guinea). Setelah berada bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia Indonesia, wilayah ini dikenal sebagai Provinsi Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973. Namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi hingga 2002, dan kemudian mengalami pemekaran sehingga kembali menjadi propinsi Papua Barat-Manokwari dan propinsi Papua-Jayapura.
Pada Februari 1623, pelaut Belanda Jan Cartensz yang berlayar di sebelah selatan Pulau Papua melaporkan dalam jurnalnya: suatu pagi yang cerah mereka menyaksikan suatu gunung tinggi yang puncaknya berwarna putih. Ketika itu, banyak orang di Eropa menyangsikan laporannya dan menganggapnya sebagai pembual ketika ia mengatakan bahwa di suatu wilayah khatulistiwa terdapat gunung salju abadi. Beberapa peneliti yang tertarik dengan laporan “bualan”-nya itu kemudian melakukan serangkaian ekspedisi ke Pegunungan Nemangkawi.
Pada 25 April 1960, Nederlands Nieuw Guinea Petrolium Maatschappy (NNGPM) melakukan pendakian dalam skala besar kepegungan bersalju Nemangkawi, dipimpin A.J. Wintrachen dari Belanda dan seorang geolog Amerika, D. Flind. Ekspedisi kali ini juga merupakan kelanjutan dari dari ekspedisi sebelumnya yang telah dilakukan Dr. A.H. Colijn di tahun 1936 sampai 1937 bersama geolog Dr. J.J Dozy yang menemukan kandungan bijih-bijih mineral di salah satu puncak Nemangkawi, Yelsegel Ongopsel, yang kemudian mereka sebut sebagai Gunung Bijih, Eastberg.
Dalam rombongan ekspedisi itu terdapat sembilan belas orang pegawai pemerintah kolonial Belanda, polisi, porter, dan penerjemah. Salah seorang dari mereka adalah Moses Kilangin Tenbak, seorang guru SD Kampung Amkayagama, Lembah Tsinga hilir. Moses Kilangin adalah seorang putra suku bangsa Amungme. Pemilik hak ulayat (ulayat = tanah adat, ed.) atas tanah Amungsa, Pegunungan Nemangkawi, Cantensz.
Amungsa merupakan wilayah yang ditempati suku bangsa Amungme yang meliputi puncak-puncak Pegunungan Nemangkawi yang tinggi (Cartensz), lembah-lembah yang subur, seperti Tsinga, Noemba dan Waa, serta sungai-sungai yang membelah pegunungan dari barat ke timur dan dari utara ke selatan. Salah satu puncak Nemangkawi adalah Yelsegel Ongopsel (Eastberg), yang dalam bahasa Amungme berarti “gunung yang berkilauan laksana bulu burung Cenderawasih hitam”.
Menurut Arnold Mamperior dalam bukunya Amungme Manusia Utama Dari Nemangkawi Pegunungan Cartensz, Gunung Yelsegel Ogopsegel adalah wilayah keramat—tempat asal mula leluhur suku Amungme—dan sebagai tempat beristirahatnya burung Yelki dan Ongopki yang dipuja keret-ndartem (klan) Narkime dan Magal. Gunung yang puncaknya 130 meter dari permukaan tanah dan kedalamannya dua kali lipat ke dalam perut bumi ini, sudah lenyap dikeruk oleh Freeport dan kini yang tersisa adalah ceruk, sumur raksasa, yang airnya berasal dari curah hujan.
Perusahaan tambang Freeport milik Amerika yang berporasi sejak tahun 1973 menandatangi kontrak karya dengan rezim Orde Baru Soeharto untuk menambang bijih-bijih tembaga di wilayah Nemangkawi, gunung Yelsegel Ogopsegel, Eastberg. Tahun 1991 kontrak karya ini diperbaharui, berlaku hingga 30 tahun (sampai 2041), dengan klaim bahwa geolog Freeport baru menemukan emas di Gunung Tenogama/Enagasin, Grassberg tahun 1988 dengan kandungan emas terbesar di dunia dan tembaga menempati urutan nomer ketiga.
Menurut Memperior, Amungme berarti Manusia Pertama, Manusia Sejati, atau Manusia Sesungguhnya. (Amung berarti Pertama, Utama, Sejati, Sesungguhnya; dan Me berarti Manusia, Orang). Suku Manusia Utama ini memberi nama Nemangkawi kepada pegunungan yang bersalju ini sejak jaman leluhur mereka. Sebagai suku pegunungan, suku Amungme memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan alam dalam istilah mereka Te Aro Newek Lak-o, yang berarti: Alam adalah Aku. Sungai, lembah, dan pegunungan adalah tubuh ibu atau mama suku Amungme.
Para peneliti Eropa menamainya Pegunungan Nemangkawi dengan sebutan Cartensz. Soekarno memberi nama Puncak Soekarno ketika terbang di atas Pegunungan Nemangkawi pada 5 Mei 1963 dalam perjalanan menuju Biak ke Merauke dan sebelumnya Soekarno sudah mengganti nama Hollandia (Kota Baru) menjadi Soekarnopura. Pada zaman rezim Orde Baru, Soeharto mengganti namanya menjadi Puncak Jaya dan Soekarnopura menjadi Jayapura.
Selang beberapa bulan setelah Kudeta Militer tahun 1965, Freeport Mc Moran mulai menjajaki kemungkinan investasi untuk mengeksploitasi Pegunungan Nemangkawi, Cartensz. Pada 3 Maret 1973, Soeharto meresmikan beroperasinya penambangan Freeport tanpa meminta persetujuan dari masyakakat adat Amungme, pemilik sah tanah ulat di Pegunungan Nemangkawi. Dengan kepemilikan saham terbesar jatuh kepada: Freeport Mc Moran sebesar 67,3 persen, PT Indocopper Investama 9,3 persen, join venture dengan Rio Tinto Group 13 persen, dan pemerintah Indonesia 9,3 persen. Dalam laporan yang dirilis di mining-technology.com, pada 2006 Freeport memproduksi 610. 800 ton tembaga, 58.474,392 gram emas, dan 174.458.971 gram perak.
Salah seorang komisaris pemegang saham di perusahaan tambang raksasa ini adalah Henry Kissinger, Sekretaris Negara Amerika Serikat ke-56 dari tahun 1973 sampai 1977 dan pernah menjabat sebagai Pembantu Penasehat Keamanan Nasional untuk presiden dari tahun 1969 sampai 1975. Henry Kissinger adalah seorang diplomat ulung yang disebut-sebut beberapa pakar terlibat dalam penggulingan pemerintahan Soekarno dan secara aktif turut serta dalam membasmi gerakan komunis di Asia.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Mimika mencatat jumlah penduduk terus bertambah setiap tahunnya. Pada 2007 tercatat 171.000 orang lebih. Jumlah suku-suku asli adalah 30.000. Dari jumlah tersebut suku Amungme dan Kamoro adalah yang terbesar dari 5 suku lainnya. Dari keseluruhan jumlah suku-suku asli di wilayah Mimika, diperkirakan hanya 10.000 yang lulus dari pandidikan Sekolah Dasar. Artinya, lebih dari separuh lebih suku-suku asli ini adalah buta huruf. Sementara itu, hingga 2008, jumlah pekerja di pertambangan Freeport lebih dari 19.000 ribu jiwa.
Selain persoalan pendatang yang menyebabkan suku-suku asli ini semakin terdesak kepinggiran dan menimbulkan kecemburuan sosial, pesoalan lainnya adalah penularan HIV dan AIDS. Provinsi Papua menempati urutan teratas dalam penularan HIV dan AIDS di Indonesia dan Kabupaten Mimika adalah yang tingkat penularannya paling tinggi di seluruh wilayah Papua.
Berdasarkan survey HIV dan AIDS tahun 2006 yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan dan WHO, prevelensi HIV di Papua sebesar 2,4 persen. Ini berarti penderita HIV di Mimika lebih dari 3.000 orang dan 50 persen menyebar di masyarakat 7 suku (Amungme 23 persen, Mee/Ekari 17 persen, dan Dani 17 pesen). Pada priode Agustus 2008, KPAD (Komisi Penanggulangan Aids Daerah) Mimika menemukan kasus HIV dan AIDS di Mimika meningkat tajam, mencapai 1.300 kasus dan telah merenggut nyawa 86 orang. Yang terdiri dari kasus HIV sebanyak 1.283 dan AIDS sebanyak 199 yang menyebar melalui hubungan seksual sebanyak 1.284 kasus, dari ibu ke anak 29 kasus, homoseksual 1 kasus, tranfusi darah 1 kasus, dan tidak diketahu identitasnya 7 kasus.
Pengelolaan dana “bantuan sosial” dan 1 persen pendapatan kotor Freeport yang merupakan konsesi atas tanah ulayat Amungme dan Kamoro juga menimbulkan berbagai masalah di tahun 1990-an. Tidak ada bentuk nyata bahwa suku pedalaman ini telah merasakan hasil dari dana-dana tersebut dengan peningkatan kualitas hidup mereka. Di Banti, misalnya, sebagai salah satu pusat pemukiman suku Amungme, dengan kekayaan alam gunung emas yang terbesar di dunia, banyak anak-anak yang pendidikannya terlantar. Penduduknya tinggal dalam honey-honey (rumah tradisional) yang tidak hiegenis, berbentuk bulat di dalamnya pengap tanpa cahaya matahari yang cukup: tempat bersarangnya berbagai macam jenis penyakit, seperti TBC dan penyakit menular lainnya.
Penyaluran dana ini pun awalnya cukup aneh. Dana itu dibagi-bagikan melalui tetua-tetua adat kepada masyarakat melalui lembaga-lembaga yang mengklaim sebagai lembaga adat. Menurut pengakuan penduduk setempat, per tiga bulan ada yang mendapat sampai 20 juta setiap keluarga. Dalam masyarakat yang pola hidupnya masih meramu dan berburu, sisa-sisa dari kebudayaan zaman batu, mau diapakan dana dalam jumlah yang sangat besar itu? Umumnya, setelah mendapatkan dana tersebut, mereka membeli berbagai kebutuhan pokok, melakukan pesta, dan tak jarang para laki-laki turun ke Timika untuk mengunjungi tempat-tempat prostitusi dan mabuk-mabukan.
Pergeseran-pergeseran nilai-nilai adat yang kini mengalami kemerosotan dalam masyarakat adat Amungme tidak lepas dari masuknya berbagai pengaruh asing. Ketika gereja dan negara datang menggantikan lembaga dan hukum-hukum adat, secara perlahan berbagai kearifan yang diwariskan leluhur Amungme mulai ditinggalkan. Sementara itu, nilai-nilai negatif terus dipertahankan, misalnya dijabarkannya konflik suku menjadi konflik modern yang melibatkan berbagai kepentingan elit-elit pusat dan lokal: orang-orang yang paling diuntungkan dengan hadirnya Freeport di Bumi Amungsa!
Ketika kita berbicara mengenai kepentingan modal, bagi suku Amungme, negara hadir dalam bentuk yang sangat represif, menindas dan mengintimidasi. Misalnya, ketika masyarakat adat mempertanyakan hak-hak mereka atas tanah, air dan gunung-gunung yang dulu merupakan asal-usul leluhur bangsa Amungme, mereka malah dicap separatis, pendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM).

0 komentar:

Posting Komentar

 

Lorem

Ipsum

Dolor